TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI kesal mengkritik Malaysia menyusul terjadinya kasus penculikan terhadap nelayan asal Indonesia oleh kelompok radikal Abu Sayyaf. Sebab kasus penculikan pada September 2018 lalu terjadi di wilayah perairan Malaysia.
Menurut Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal, pengamanan di pihak Malaysia kendor sehingga tindak penculikan bisa sampai terjadi. Hal ini disayangkan Kementerian Luar Negeri, terlebih para nelayan Indonesia tersebut telah melapor sesuai prosedur ke otoritas berwenang Malaysia setiap kali melintasi perairan negara itu.
"Malaysia pengamanannya kendor, padahal korban (sandera) ketika menangkap ikan sudah memberikan notifikasi ke pemerintah berwenang mereka mau melintasi perairan Malaysia. Itu artinya, pengamanan mereka lemah karena bisa ditembus para penculik," kata Iqbal yang ditemui usai acara Pernyataan Pers Tahunan Menlu RI (PPTM) 2019, Rabu, 9 Januari 2019 di kantor Kementerian Luar Negeri RI, Pejambon, Jakarta.
Baca:Tiga Nelayan WNI Korban Penyanderaan di Filipina Tertekan Batin
Muhammad Sofyan, ABK Indonesia yang melarikan diri dari militan Abu Sayyaf, tiba di kantor polisi di Jolo, Sulu, Filipina selatan 17 Agustus 2016. Sofyan ditemukan penduduk yang tinggal di wilayah pantai Barangay Bual, Kota Luuk pada Rabu pagi. REUTERS/Stringer
Baca: Polri Dalami Kabar Penyanderaan WNI oleh Abu Sayyaf
Samsul Sangunim, nelayan asal Indonesia diculik di perairan Pulau Gaya, Semporna, Sabah, Malaysia pada 11 September 2018. Dia diculik oleh kelompok Abu Sayyaf bersama rekannya yang bernama Usman Yusof, 30 tahun. Usman telah melarikan diri dari para penculiknya pada 5 Desember 2018 dan sudah berkumpul bersama keluarganya di Dusun Bromo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Selain Samsul, ada dua sandera lainnya asal Indonesia yang ditahan kelompok radikal di Filipina saat sedang mencari ikan bersama satu nelayan warga negara Malaysia. Ketiga sandera itu diculik pada 6 Desember 2018 di perairan Kinabatangan sebuah wilayah dekat rantai kepulauan Tawi-Tawi, Lahad Datu, Filipina.
"Ketiga nelayan WNI itu masih di sandera dan kami terus mengabarkan kepada keluarga status upaya pembebasannya," kata Iqbal.
Total sejak 2016, ada 36 nelayan WNI yang menjadi korban penyanderaan kelompok radikal Abu Sayyaf di Filipina. Dari jumlah tersebut, 33 orang sudah dibebaskan, dan 3 lagi masih dalam penyanderaan.