Dengan menjadi yang pertama dari negara-negara Teluk kaya energi untuk menarik diri dari OPEC, Qatar telah mengisyaratkan ketidaksetujuannya dengan organisasi yang dianggap tunduk pada campur tangan Arab Saudi.
Campur tangan Arab Saudi sangat jelas selama pertemuan bulan April 2016 di Doha, ibu kota Qatar, ketika Pangeran Mohammed, putra mahkota Saudi, campur tangan untuk menggagalkan kesepakatan produksi antara OPEC dan negara-negara non-OPEC.
Baca: KTT Teluk, Raja Salman Minta Negara Teluk Bersatu
Emir Tamim telah bekerja keras untuk mengamankan perjanjian baik dalam OPEC dan dengan Rusia, namun Saudi menekan Qatar untuk melarang Iran, sesama anggota OPEC, dan menjatuhkan kesepakatan di tengah-tengah pertemuan.
Pengeboran minyak lepas pantai Qatar.[www.gdi.com.qa]
Kesimpulan Qatar untuk mundur dari OPEC didasarkan pada dua keputusan yang diambil sebelum dan sesudah Arab Saudi dan sekutu-sekutunya memutuskan hubungan dengan Qatar dan memberlakukan blokade pada Juni lalu. Pada April 2017, mereka memutuskan untuk memperluas produksi gas alam secara signifikan untuk meningkatkan kapasitas gas alam sebesar 43 persen menjadi 110 juta ton per tahun.
Pemerintah Qatar juga menanggapi upaya untuk mengisolasi Qatar dengan menempa beberapa perjanjian gas alam jangka panjang dengan mitra di seluruh dunia, termasuk Cina, Jepang dan Inggris, untuk menunjukkan bahwa Qatar tetap terbuka untuk bisnis.
Baca: Saudi Gelar KTT Teluk, Pengamat Ragukan Efektivitas Forum GCC
Qatar membuat keputusan strategis untuk mengarahkan sumber daya nasional ke arah gas daripada minyak sebagai tulang punggung kebijakan energinya. Qatar menemukan minyak pada 1939, setahun setelah Arab Saudi dan Kuwait, dan bergabung dengan OPEC pada tahun 1961, namun Qatar tidak pernah menjadi pemain utama di pasar minyak global karena ekspor minyaknya tetap kecil menurut standar Teluk Persia.