TEMPO.CO, Jakarta - Permintaan referendum kedua semakin deras disuarakan oleh masyarakat Inggris. Referendum pertama pada 2016 menghasilkan suara Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa, sebuah organisasi terbesar di Benua Biru.
Desakan agar dilakukannya referendum kedua muncul setelah proses Brexit diselimuti ketidakpastian. Perdana Menteri Inggris, Theresa May, tertatih dalam meyakinkan anggota parlemen Inggris agar mau melakukan pemungutan suara pada 11 Desember terkait pengesahan kesepakatan Brexit yang telah disusunnya.
Baca: 700 Ribu Warga Inggris Gelar Demo Menolak Brexit
Namun kesepakatan Brexit yang dibuat May itu, sayangnya belum bisa menjamin Inggris pada kepastian. Walhasil, muncul seruan yang disebut People's vote untuk mendesak dibukanya kesempatan untuk bertanya kedua kalinya pada masyarakat Inggris apakah mereka benar-benar ingin keluar dari Uni Eropa atau yang disebut dengan istilah Brexit.
"Muncul momentum agar dilakukan referendum kedua. Ini akan menjadi opsi yang serius jika hasil pemungutan suara anggota parlemen tidak menyukai kesepakatan Brexit May," kata Constantine Fraser, analis dari TS Lombard, sebuah perusahaan konsultan penelitian.
Baca:Wali Kota London Desak Inggris Gelar Referendum Ulang Brexit
Para pengunjuk rasa membentangkan spanduk di Jembatan Westminster sebelum demonstrasi anti-Brexit, di London pusat, Inggris, Sabtu, 20 Oktober 2018. REUTERS/Simon Dawson
Dikutip dari asiaone.com, Senin, 3 Desember 2018, John McDonnell, Juru bicara Partai Buruh di Inggris mengatakan saat ini semakin deras permintaan agar para pemimpin Inggris bergerak lebih dekat dengan gagasan melakukan referendum kedua dan mengatakan hal ini tak bisa dihindari sehingga Partai akan mendukung referendum kedua jika tidak bisa menyelenggarakan pemilu.
Harapan diselenggarakannya referendum kedua juga diteriakkan oleh Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk, pada Jumat, 30 November 2018. Disela-sela pertemuan G20 di ibu kota Buenos Aires, Tusk mengatakan penolakan kesepakatan Brexit oleh anggota parlemen Inggris hanya akan meninggalkan dua pilihan, yakni tidak ada kesepakatan sama sekali atau Inggris tidak keluar dari Uni Eropa.
Menanggapi kondisi ini, Perdana Menteri May telah berulang kali mengesampingkan kemungkinan menghentikan proses Brexit atau opsi menyelenggarakan referendum. Kondisi ini seperti jalan buntu bagi masyarakat Inggris karena referendum kedua pun akan sulit dilakukan tanpa dukungan dari orang nomor satu di Inggris itu.