TEMPO.CO, Jakarta - Wali kota London Sadiq Khan menyerukan referendum ulang mengenai keanggotaan Inggris di Uni Eropa karena perdana menteri Theresa May membuat negosiasi Brexit semakin di ambang kebuntuan dan menyebabkan kebingunan.
Dilaporokan Reuters, 17 September 2018, Inggris akan meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret tahun depan, tetapi rencana Brexit Perdana Menteri Theresa May masih belum diterima. Beberapa anggota parlemen, serta serikat pekerja dan pemimpin bisnis, berdebat mengenai keputusan akhir tentang kesepakatan dengan Brussels.
Baca: Parlemen Inggris Ingin Mendongkel Perdana Menteri May
Theresa May telah berulang kali mengesampingkan referendum kedua. Dia mengatakan anggota parlemen akan dapat memilih apakah akan menerima kesepakatan akhir.
Negosiasi Brexit Terancam Mundur
Desakan Sadiq Khan, anggota partai Buruh, untuk referendum kedua akan memberi tekanan lebih besar pada pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn untuk mengubah pandangannya terhadap referendum kedua.
Referendum kedua, yang dijuluki "suara rakyat" oleh pendukungnya, bukanlah kebijakan partai Buruh, meskipun juru bicara keuangan John McDonnell mengatakan bulan lalu bahwa tidak ada opsi yang harus dibatalkan.
Khan mengatakan, Inggris sekarang menghadapi kesepakatan buruk atau Brexit tanpa kata sepakat, yang menurutnya keduanya sangat beresiko.
Baca: PM Inggris May Sebut Ada Resiko Brexit Batal, Ada Apa?
Sadiq Khan menyalahkan cara pemerintah menangani negosiasi dan mengatakan ancaman terhadap standar hidup, ekonomi dan pekerjaan terlalu besar bagi pemilih untuk tidak memiliki suara.
"Kegagalan pemerintah dan risiko besar yang kita hadapi dari kesepakatan buruk atau Brexit tanpa-kesepakatan berarti memberi orang pilihan baru sekarang adalah pendekatan yang tepat dan hanya itu (pilihan) yang tersisa untuk negara kita," kata Khan.
Sementara Perdana Menteri Inggris Theresa May mengakui dirinya kesal oleh perdebatan atas kepemimpinannya selama negosiasi Brexit.
Tiga pemimpim Uni Eropa dari kiri ke kanan yaitu Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. PA
Dia mengatakan, seperti dilaporkan Associated Press, dirinya prihatin untuk masa depan negara itu karena pembicaraan tentang keluarnya Inggris yang akan datang dari Uni Eropa terus berlanjut.
May menghadapi perpecahan dalam Partai Konservatifnya, dengan beberapa tokoh berpengaruh lebih memilih pemisahan sepenuhnya dengan Uni Eropa daripada bersepakat seperti yang May perjuangkan. Sementara nasib May diujung tanduk setelah sekitar 50 anggota konservatif garis keras bertemu pada Selasa malam 11 September lalu untuk membahas kemungkinan pemakzulan Theresa May.
Baca: Survei Ungkap Rencana Brexit May Ditentang Publik Inggris
"Saya sedikit jengkel, tetapi perdebatan ini bukan tentang masa depan saya. Perdebatan ini adalah tentang masa depan rakyat Amerika Serikat dan masa depan Kerajaan Inggris," kata May dan menambahkan semuanya mesti fokus pada penyelesaian alot negosiasi Brexit.