TEMPO.CO, Jakarta - Rencana repatriasi atau pemulangan para pengungsi etnis minoritas Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh, pada November ini, ditentang sejumlah pihak. Kyaw Win, Direktur Eksekutif Yayasan HAM Burma, menyebut banyak para pengungsi yang masih trauma dan belum siap untuk kembali ke Myanmar lewat repatriasi ini.
"Kami sudah melakukan wawancara dengan pengungsi, mereka masih trauma, takut dan telah dipaksa untuk melarikan diri keluar dari Myanmar. Mereka yang selamat dari pembantaian ini sangat trauma. Ini tidak mudah dan butuh waktu. Selama militer berkuasa sulit bagi mereka karena mereka butuh perlindungan," kata Win, di acara diskusi terbuka yang dilakukan oleh Komite Nasional Solidaritas Rohingya (KNSR) yang diinisiasi ACT, Rabu, 14 November 2018.
Dia menegaskan repatriasi harus ditunda hingga para pelaku pembantaian dibawa ke pengadilan. Sebab masalah utama dari kasus ini adalah kurangnya pertangung jawaban untuk membawa para pelaku ke pengadilan.
Baca: Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
Kyaw Win, Direktur Eksekutif Yayasan HAM Burma. Sumber: TEMPO/Suci Sekarwati
Baca: Investigasi Reuters: Cerita Pembantaian 10 Muslim Rohingya
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Dina Wisnu, Dewan HAM Asean. Menurutnya, repatriasi para pengungsi etnis minoritas Rohingya harus ditunda dulu sampai kondisi di Myanmar kondusif. Sebab jika tidak, masalah akan semakin memburuk.
Marzuki Darusman, Ketua Tim Pencari Fakta PBB, juga menyuarakan penolakan repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar. Jika hal ini tetap dilakukan, maka pada akhirnya akan menyulitkan komunitas internasional dalam melindungi mereka.
"Jangan dulu repatriasi, nanti Myamnar bisa menyebut ini masalah dalam negeri mereka sehingga akan sulit buat kita masuk ke dalam (Myanmar). Yang kami serukan adalah hentikan dulu kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya, lindungi masyarakat Rohingnya yang masih ada di negara bagian Rakhine. Kalo mereka di lindungi, maka akan ada daya tarik. Kalau sekarang masih tidak mungkin,"kata Marzuki.
Dia mengatakan, etnis Rohingya masih berpotensi besar menjadi sasaran korban kebencian. Mereka yang tak suka dengan etnis Rohingya, termasuk sejumlah jenderal di militer Myanmar, bahkan menggunakan Facebook untuk menyebar ujaran kebencian.