TEMPO.CO, Manila – Filipina mendapat kembali kursi di Dewan HAM PBB untuk masa tiga tahun mendatang bersama 47 negara anggota lainnya. Ini membuat aktivis HAM mengkritik dengan mengatakan Filipina tidak layak duduk di Dewan HAM PBB karena rekam jejak perang narkoba, yang telah menewaskan lebih dari 4.800 orang.
Baca:
Warga Filipina Dukung Perang Narkoba, Tolak Praktek Pembunuhan
Negara ini terpilih dalam proses voting di Sidang Umum PBB pada Jumat pekan lalu dengan 165 suara mendukung dari 193 suara. Satu suara absen.
“Kampanye Presiden melawan obat-obatan terlarang, korupsi dan kriminalitas telah diakui dunia internasional sebagai cara yang esensial untuk proteksi hak hidup, kebebasan dan hak milik,” kata Salvador Panelo, juru bicara Duterte seperti dilansir Straits Times pada Ahad, 14 Oktober 2018.
Baca:
Namun, seperti dilansir Reuters, pengritik Duterte, anggota parlemen Gary Alejano, menggambarkan terpilihnya Filipina sebagai ironi besar. “Negara yang memiliki banyak kasus HAM tidak punya tempat di Dewan,” kata dia dalam sebuah pernyataan.
Berikut ini 5 hal terkait perang narkoba, yang menjadi program kampanye Duterte dan dilaksanakan sejak dia terpilih pada Juni 2018 menurut temuan Human Rights Watch pada 2017:
- Jumlah korban tewas perang narkoba sejak program itu digelar ketika Presiden Rodrigo Duterte terpilih pada 30 Juni 2016 mencapai sekitar 7000 orang. Operasi ini disebut “Operation Double Barrel”. Jauh diatas jumlah versi resmi yaitu sekitar 4.800 orang.
Baca:
- Operasi ini kerap diwarnai dengan tindakan pembunuhan semena-mena atau extrajudicial killing oleh polisi atau tentara dengan alasan bandar dan pemakai narkoba mencoba melawan. Operasi ini kerap menyasar daerah kumuh di ibu kota Manila namun juga masuk ke kawasan urban.
- Saksi mata justru melihat korban tewas ditembak dalam keadaan tidak melawan dan tidak bersenjata. Agar terlihat benar dimata hukum, HRW menemukan adanya upaya menutup-nutupi dengan menaruh senjata, amunisi telah terpakai, dan paket narkoba pada tubuh korban.
Baca:
- Sebelum menjadi Presiden, Rodrigo Duterte pernah menjabat sebagai Wali Kota Davao selama sekitar dua puluh tahun. Di kota ini ada kelompok dengan nama “Davao Death Squad” yang telah membunuh ratusan para pengguna narkoba, anak-anak dan kriminal kecil-kecilan. Meski mengaku tidak mendukung skuad pembunuh ini, Duterte terang-terangan mengatakan ini diperlukan untuk mengatasi kejahatan, yang membuatnya mendapat julukan “Duterte Harry”.
Baca:
- Sebelum menjadi Presiden, Duterte pernah mengatakan dia berupaya mengatasi kejahatan dengan mengeliminasi para penjahat. “Jika Tuhan menaruh saya di posisi itu (sebagai Presiden), hati-hati karena 1000 orang (yang diduga tewas saat Duterte menjadi Wali Kota Davao), akan menjadi 100 ribu orang. Kalian akan melihat ikan-ikan di Teluk Manila bakal menjadi gendut. Itu karena saya akan membuangmu ke sana.”