TEMPO.CO, Jakarta - Macedonia menjadi rebutan antara Rusia dan negara-negara Barat anggota NATO atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara melalui referendum ganti nama negara termuda di Eropa itu pada hari Minggu, 30 September 2018.
Tarik menarik untuk mempengaruhi Macedonia semakin kencang menjelang referendum untuk mengakhiri sengketa 27 tahun antara negara bekas pecahan Yugoslavia tahun 1991 ini dengan Yunani.
Yunani mempersoalkan nama itu karena salah satu provinsinya di bagian utara memiliki nama yang sama, Macedonia. Sehingga Yunani menolak mengakui kemerdekaan Macedonia kecuali mengganti namanya.
Kesepakatan Yunani dan Macedonia pun dicapai pada Juni lalu yang disebut sebagai Prespes Agreement untuk mengganti nama negara Macedonia.
Melalui referendum yang akan diikuti 1,8 juta pemilih, Macedonia akan menjaring nama baru untuk negara balkan itu.
Beberapa nama diajukan untuk dipilih di antaranya Republik of New Macedonia, Republic of Northen Macedonia, Republic of Upper Macedonia, Republic of Vardaska Macedonia dan Skopje.
Pendukung referendum ganti nama Macedonia [CHANNEL NEWS ASIA]
Referendum yang tidak mengikat secara hukum atau sebagai konsultatif akan disarankan kepada parlemen untuk dibahas. Jika dua per tiga dari seluruh anggota parlemen meratifikasi kesepakatan itu, maka selanjutnya konstitusi akan diubah dengan mencantumkan nama baru negara.
Baca: Yunani - Macedonia Berdamai, Macedonia Setuju Berganti Nama
Yunani berjanji akan mencabut vetonya atau blokadenya selama ini di NATO dan Uni Eropa jika Macedonia resmi mengganti namanya. Sehingga Macedonia tidak lagi dihalangi untuk masuk jadi anggota NATO da Uni Eropa.
Namun, referendum pergantian nama Macedonia menempuh jalan berliku karena keterlibatan negara-negara raksasa Amerika Serikat dan sekutunya di NATO dan Uni Eropa berhadapan dengan Rusia.
Seperti dilaporkan South China Morning Post, Rusia berusaha mengawal agar referendum menghasilkan jawaban tidak. Rusia tidak ingin Macedonia bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
Bocoran pertemuan intelijen Macedonia tahun lalu menyebutkan Kremlin tengah mengorganisasi upaya mencegah negara-negara Western Balkans bergabung dengan NATO.
Baca: Serbia Tarik Seluruh Staf Kedutaannya dari Macedonia
"Jika mereka memilih tidak, Rusia melihat ini sebagai kemenangan besar," kata Michael Carpenter, pejabat senior Pentagon di masa pemerintahan Barack Obama dan sekarang menjabat sebagai Direktur Senior the Bidden Centre for Diplomacy and Global Engagement di University of Pennsylvania.
"Kami telah melihat Rusia berupaya ikut campur dalam proses politik demokrasi di wilayah ini beberapa tahun lamanya," kata Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg.
"Saya percaya Skopje dan rakyatnya bertahan dari upaya-upaya ikut campur seperti ini."
Dugaan Rusia ikut campur juga muncul dari terbelahnya sikap pemimpin Macedonia menanggapi referendum. Presiden Macedonia Gjorve Ivanov menyerukan boikot referendum.
Presiden Macedonia Gjorge Ivanov. REUTERS/Ints Kalnins
Partai oposisi terbesar Macedonia tidak mengambil sikap tegas sekalipun menolak kesepakatan dengan Yunani.
Baca: Gelar Aksi Protes, Massa Serang Gedung Parlemen Macedonia
Perdana Menteri Zoran Zaev sepenuhnya mendukung referendum dan menegaskan bahwa Macedonia tidak punya alternatif kecuali bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
"Tidak ada alternatif bagi negara saya kecuali keanggotaan penuh di NATO dan juga secara paralel keanggotaan penuh di Uni Eropa," kata Zaev setelah bertemu Stoltenberg September ini.
"Kami negara kecil, dan kami negara ramah, keinginan kami adalah membangun persahabatan dengan siapa saja, termasuk Rusia," ujar Zaev.
Zaev mengingatkan bahwa kegagalan referendum akan mengisolasi Macedonia. Dengan begitu akan membuka lembaran baru ketidakamanan dan ketidakstabilan di seluruh wilayah. Zaev pun berharap suksesnya referendum Macedonia akan menghasilkan model penyelesaian untuk negara-negara yang bersengketa di wilayah itu.
SOUTH CHINA MORNING POST | ALJAZEERA | CHANNEL NEWS ASIA