TEMPO.CO, London – Nilai tukar dolar menguat pada Rabu, 5 September 2018, di tengah kekhawatiran pelaku pasar Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bakal mengenakan sanksi lanjutan berupa kenaikan tarif impor dalam perang dagang dengan Cina.
Baca: Media Cina Sebut Trump Berkhayal Bisa Menang Perang Dagang
“Sepanjang Amerika Serikat dan Cina bertengkar, maka akan mudah bagi harga-harga komoditas untuk jatuh. Dan komoditas serta mata uang negara-negara emerging market bisa dijual dengan mudah,” kata Yukio Ishizuki, ahli strategi mata uang senior dari Daiwa Securities seperti dilansir Reuters, Rabu, 5 September 2018.
Ada kemungkinan Trump melaksanakan ancamanya untuk mengenakan kenaikan tarif untuk impor senilai US$200 miliar dari Cina atau sekitar Rp3000 triliun.
Baca:
Perang Dagang Amerika Vs Cina Berlanjut, Harga Mulai Naik
Sejak awal Juli, Cina dan AS telah mengenakan kenaikan tarif untuk masing-masing impor barang senilai US$16 miliar dan 34 miliar dolar. Ini berupa berbagai produk pertanian, otomotif, elektronik dan besi olahan.
Para investor yang merasa khawatir dengan tenggat waktu terkait sanksi AS terhadap impor dari Cina cenderung memegang dolar dan ini membuat nilai tukar euro dan poud Inggris melemah. Selain itu ada sentimen bank sentral AS bakal menaikkan tingkat suku bunga.
Baca:
Kapal Perang Amerika dan Jepang Konvoi di Laut Cina Selatan
Indeks nilai tukar dolar, yang mengukur nilai tukar dolar terhadap enam mata uang global, menguat sekitar 0,1 persen menjadi 95,442. Ini mendekati indeks tertinggi 95,737 selama dua pekan terakhir.
Krisis mata uang lira di Turki dan konflik perang dagang dengan Cina membuat dolar menguat bagi investor yang mencari sarana investasi aman. Trump, menurut Reuters, juga tampaknya membiarkan dolar menguat karena itu memberi tekanan kepada negara-negara yan menjadi musuh politiknya.
Video:
Defisit Perdagangan AS-Cina, Jack Ma: Tidak Masalah
Namun, sejumlah analis lainnya memperkirakan nilai tukar dolar bakal jatuh sebelum akhir tahun ini.
“Kekuatan siklus bakal mengenai dolar: momentun ekonomi yang relatif, ekspektasi kebijakan moneter, dan ketidakpastian politik bakal memberati dolar seperti pada paruh kedua 2017,” kata Viraj Patel, yang menjadi ahli strategi mata uang di ING.