TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pilot pesawat tempur F-16 Taiwan dikonfirmasi tewas setelah pesawatnya jatuh di Taiwan utara dekat daratan Cina pada Senin, 4 Juni 2018.
Sebelumnya jet tempur Taiwan itu dinyatakan hilang pada awal latihan militer tahunan terbesar di pulau itu, yang digelar untuk menunjukkan kemampuan menangkis serangan.
Baca:
Jenderal Cina Kecam Pernyataan Mattis Soal Laut Cina Selatan
Sebut Bandara Taoyuan di Cina, Garuda Indonesia Diprotes Taiwan
“Kami akan selalu mengingat pengorbananmu. Semangatmu akan selalu bersama kami. Kami akan selalu bangga kepadamu,” begitu bunyi pernyataan dari kementerian Pertahanan Taiwan, pada Senin, 4 Juni 2018 seperti dilansir CNN.
Militer Taiwan mengatakan pilot Wu Yen-ting, 31, meninggal setelah pesawat kehilangan kontak dengan pangkalan angkatan udara di Hualien di pantai timur pulau itu sekitar pukul 1.43 sore waktu setempat. Pesawat ini sempat ikut dalam latihan militer lebih jauh ke utara ke arah daratan Cina.
Baca:
Salah Gambar Peta Cina di Kaos, GAP Asal Amerika Meminta Maaf
Cina Sebut Tuduhan Militerisasi Laut Cina Selatan Tak Masuk Akal
Kecelakaan itu terjadi, seperti dilansir The Star, setelah sebelumnya Beijing melakukan serangkaian latihan militer berulang kali di sekitar pulau Taiwan. Insiden ini juga terjadi ketika pemerintah Taiwan berusaha meyakinkan para pemilih menjelang pemilihan akhir tahun ini.
Sumber-sumber militer mengatakan jet itu diduga telah mengalami masalah di atas Kota New Taipei sebelum hilang kontak di area Pegunungan Keelung.
Pesawat tempur Singapura F-16, melakukan manuver dengan melontarkan flair saat tampil jelang Singapore Airshow, di 2 Februari 2018. AP
Pusat Komando Penyelamatan Nasional dan Kementerian Pertahanan China Taipei telah meluncurkan misi pencarian dan penyelamatan untuk menemukan jet dan pilotnya.
Sebelum hilang kontak pada Senin, jet yang dipiloti Wu ini ikut ambil bagian dalam latihan militer live-fire tahunan Han Kuang di Taiwan. Lima hari latihan yang dirancang untuk meningkatkan kesiapan tempur jika terjadi serangan dari seberang Selat Taiwan oleh Tentara Pembebasan Rakyat Cina.
Ketegangan lintas-selat telah meningkat di bawah Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, dengan pemimpin lainnya negara itu menolak mengakui "konsensus 1992" bahwa hanya ada "satu Cina".
Beijing mengatakan konsensus adalah dasar dari setiap dialog lintas selat dan telah meningkatkan tekanan pada pemerintah Tsai dengan serangkaian latihan udara dan angkatan laut di sekitar pulau itu.