TEMPO.CO, Jakarta - Peraih Nobel Perdamaian, Rabu, 28 Februari 2018, mendesak pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer mengakhiri genosida terhadap muslim Rohingya atau bakal menghadapi tuntutan.
PBB dan organisasi hak sasi manusia dunia telah mengumpulkan bukti pelecehan seksual yang meluas oleh militer Myanmar terhadap kaum Rohingya, juga telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran terhadap kaum yang tidak memiliki bukti kewarganegaraan.
Baca: Muhammadiyah Minta Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut
Sejumlah anak pengungsi Rohingya mengambil air di Kamp Pengungsian Ukhia, Cox Bazar, Bangladesh, 28 September 2017. PBB menyatakan jumlah pengungsi Rohinya telah mencapai 480.000 orang sejak konflik di Rakhine berlangsung pada 25 Agustus 2017. ANTARA FOTO
"Aksi tersebut mendorong hampir 700 ribu orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh," tulis Channel News Asia, Rabu.
"Suu Kyi harus berhenti menutup telinga terhadap penganiayaan Rohingya atau berisiko terlibat dalam kejahatan tersebut," kata aktivis Yaman, Tawakol Karman, dalam acara jumpa pers di Dhaka setelah mengunjungi kamp pengungsi di Cox's Bazar, sebelah tenggara Bangladesh.Partai Islah, partai pendukung presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi , membatalkan keanggotaan Tawakoll Karman, peraih Nobel Perdamaian 2011, setelah menuding Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terlibat dalam perang saudara di Yaman.
"Bangun atau menghadapi tuntutan," ucap Karman yang meraih Nobel Perdamaian pada 2011.
Baca: PM Bangladesh Desak PBB Bentuk Zona Aman Rohingya di Myanmar
Sejak meraih kekuasaan pada 2016, Suu Kyi yang memenangkan Nobel Perdamaian pada 1991 gagal mengutuk kekejaman terhadap Rohingya yang dimulai pada 25 Agustus 2017 setelah sejumlah orang menyerang markas polisi dan pos militer.