Unjuk Rasa di Irak Belum Berhenti Walau PM Janji Akan Mundur
Reporter
Non Koresponden
Editor
Suci Sekarwati
Minggu, 1 Desember 2019 14:00 WIB
![](https://statik.tempo.co/data/2019/11/30/id_893617/893617_720.jpg)
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Irak pada Sabtu, 30 November 2019, berunjuk rasa di Kota Najaf dengan membunyikan sirine. Aparat kepolisian melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan demonstran hingga meningkatkan risiko terjadinya pertumpahan darah.
Dikutip dari reuters.com, Irak masih diwarnai unjuk rasa meskipun Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi pada Jumat, 29 November 2019, sudah berjanji akan mundur demi meredakan kekerasan dan kemarahan publik. Gelombang unjuk rasa di Irak sudah berlangsung hampir dua bulan.
Apara kepolisian diduga telah menggunakan peluru tajam, gas air mata dan beberapa granat dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Jumlah korban tewas dilaporkan lebih dari 400 orang, dimana korban terbanyak dari kota-kota di Nassiriya dan Najaf.
Demonstrasi pasca-pernyataan Perdana Menteri Abdul Mahdi berlanjut di sejumlah area, termasuk di selatan Kota Nassiriya dan Ibu Kota Bagdad. Untungnya, tidak banyak laporan mengenai jumlah korban tewas dibanding dua hari sebelumnya.
Abdul Mahdi menyatakan siap melepaskan jabatan sebagai orang nomor satu di Irak setelah mendapat seruan dari ulama syiah terpandang di Irak yang meminta agar pemerintah Irak berkuasa saat ini mengundurkan diri demi mengakhiri kekerasan. Tindak pembakaran kantor konsulat Iran di Kota Najaf telah memperlihatkan buruknya krisis di Irak.
Kerusuhan di Irak telah menewaskan lebih dari 400 orang, yang sebagian besar adalah demonstran. Kondisi ini menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah Irak sejak meletupnya pemberontakan kelompok radikal Islamic State atau ISIS pada 2014.
Unjuk rasa di Irak dipicu ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintah yang didominasi Syiah didukung oleh Iran. Pemerintah dituduh menghambur-hamburkan kekayaan minyak Irak sementara infrastruktur dan standar hidup memburuk.