Amnesty: Militer Myanmar Culik dan Siksa Warga Sipil di Rakhine
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Kamis, 30 Mei 2019 10:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International menemukan bukti militer Myanmar melakukan kejahatan perang dan pelanggaran HAM selama operasi militer di Rakhine.
Laporan terbaru berjudul "No one can protect us": War crimes and abuses in Myanmar’s Rakhine State, menunjukkan militer Myanmar, yang juga dikenal dengan Tatmadaw, membunuh dan melukai warga sipil dalam serangan sejak Januari 2019. Tatmadaw juga melakukan eksekusi di luar hukum, penangkapan tanpa proses peradilan, penyiksaan dan bahkan penghilangan paksa.
Menurut temuan yang dikutip langsung dari situs Amnesty International, amnesty.org, 30 Mei 2019, operasi militer di Rakhine masih berlangsung dan ada kemungkinan pelanggaran HAM akan bertambah.
Baca juga: Pengadilan Myanmar Perintahkan Tangkap Biksu Penghasut, Wirathu
"Operasi baru di Negara Bagian Rakhine menunjukkan militer yang tidak menyesal, tidak mawas diri, dan tidak bertanggung jawab meneror warga sipil dan melakukan pelanggaran yang meluas sebagai taktik yang disengaja," kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty untuk Asia Timur dan Asia Tenggara.
Laporan ini meninjau operasi militer menyusul serangan ke pos polisi oleh Arakan Army, kelompok bersenjata Rakhine, pada 4 Januari 2019. Pemerintah kemudian melancarkan operasi militer untuk membalas Arakan Army.
Amnesty International melakukan 81 wawancara, termasuk 54 wawancara di lapangan di Negara Bagian Rakhine pada akhir Maret 2019 dan 27 wawancara jarak jauh dengan orang-orang yang tinggal di daerah yang terkena dampak konflik. Mereka termasuk warga etnis Rakhine, Mro, Rohingya, dan Khami, yang beragama Budha, Kristen, dan Islam.
Baca juga: Konflik Arakan Army Versus Militer Myanmar, 4.500 Warga Mengungsi
Amnesty itu juga meninjau foto, video, dan citra satelit, dan mewawancarai pejabat kemanusiaan, aktivis hak asasi manusia, dan pakar lainnya.
Arakan Army diperkirakan memiliki kekuatan tempur hingga 7.000 pasukan.
Arakan Army didirikan pada tahun 2009, dan mereka telah berjuang bersama organisasi bersenjata etnis lainnya di Myanmar utara dan dalam beberapa tahun terakhir terlibat pertempuran secara sporadis dengan militer di Rakhine dan Negara Bagian tetangganya, Chin. Pertempuran semakin intensif pada akhir 2018.
Bukti pelanggaran HAM
<!--more-->
Laporan baru Amnesty International mengungkap bukti pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan militer yang terlibat dalam kejahatan kekejaman di masa lalu, termasuk divisi dan batalion khusus di bawah Komando Barat.
Amnesty International telah mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa unit-unit yang baru dikerahkan dari Divisi Light Infantri ke-22 dan ke-55 (LID) bertanggung jawab atas banyak pelanggaran baru ini.
Dari wawancara dan bukti lain, termasuk citra satelit, Amnesty International mendokumentasikan tujuh serangan melanggar hukum yang menewaskan 14 warga sipil dan melukai sedikitnya 29 lainnya.
Baca juga: Indonesia Diminta Terus Suarakan Genosida Rohingya di Myanmar
Sebagian besar serangan ini tidak pandang bulu, dan beberapa mungkin merupakan serangan langsung terhadap warga sipil. Dalam satu insiden pada akhir Januari, seorang bocah lelaki etnis Rakhine berusia tujuh tahun meninggal setelah mortir yang ditembakan oleh militer Myanmar meledak di desa Tha Mee Hla, Kotapraja Rathedaung, selama pertempuran antara militer dan Arakan Army.
Meskipun bocah itu terluka parah, butuh beberapa jam sebelum tentara Myanmar memberi izin keluarganya untuk membawanya ke rumah sakit. Namun dia meninggal pada hari berikutnya.
Dalam insiden lain pada pertengahan Maret, sebuah mortir militer Myanmar meledak di desa Ywar Haung Taw, Kotapraja Mrauk-U, melukai setidaknya empat orang dan menghancurkan sebuah rumah milik Hla Shwe Maung, seorang pria etnis Rakhine berusia 37 tahun.
Tinjauan citra satelit mengkonfirmasi kehancuran sebuah bangunan di desa Ywar Haung Taw, serta kehadiran artileri baru di pangkalan polisi di dekatnya.
Pada 3 April 2019, sebuah helikopter militer menembaki para pekerja Rohingya yang sedang memotong bambu, menewaskan sedikitnya enam pria dan anak lelaki dan melukai setidaknya 13 lainnya.
Amnesty International juga mendokumentasikan bagaimana militer mengambil posisi di dalam kompleks kuil kuno Mrauk-U dan menembak secara membabi buta.
Citra satelit mengkonfirmasi keberadaan artileri yang dekat dengan kuil, dan foto-foto menunjukkan perusakan situs kuil.
Amnesty International lebih lanjut mendokumentasikan tujuh kasus penangkapan sewenang-wenang di Negara Bagian Rakhine sejak Januari 2019.
Baca juga: Pembunuhan 10 Laki-laki Rohingya, 7 Tentara Myanmar Dibebaskan
Amnesty International juga mendokumentasikan penghilangan paksa enam orang: satu etnis Mro dan lima etnis Rakhine, pada pertengahan Februari. Seorang saksi mengatakan dia terakhir melihat salah satu pria dalam tahanan militer. Sejak itu, keluarga tidak memiliki informasi tentang nasib dan keberadaan orang yang mereka cintai.
Lebih dari 30.000 orang telah terlantar dalam kekerasan terakhir selama operasi militer Myanmar di Rakhine, namun pihak berwenang Myanmar telah memblokir akses kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena dampak.