Eksklusif - Kata 2 Pengamat Malaysia Soal 'Malay Tsunami'
Reporter
Non Koresponden
Editor
Budi Riza
Sabtu, 28 April 2018 14:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Malaysia, Dr Awang Azman, dari University of Malaya meragukan bakal adanya fenomena “Malay Tsunami” dalam pemilihan umum negara itu pada 9 Mei 2018.
Istilah “Malay Tsunami’ ini dipopulerkan kelompok oposisi Malaysia untuk mengatakan bahwa pada pemilu nanti bakal banyak pemilih Melayu berpindah dari Partai Umno ke partai oposisi seperti Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM). PPBM adalah partai yang didirikan bekas Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad.
Baca: Eksklusif -- Bridget Welsh: Parpol Malaysia Berebut Suara Melayu
“Tidak ada apa yang disebut Malay Tsunami. Yang ada gelombang ombak (politik),” kata Awang kepada Tempo, Jumat, 27 April 2018 lewat WhatsApp.
Menurut Awang, beberapa daerah yang menjadi basis suara koalisi Barisan Nasional pimpinan Umno masih akan dikuasai seperti Perlis dan Sarawak.
Baca: PM Najib Razak Bantah Malaysia akan Bangkrut, Ini Buktinya
Awang melanjutkan Barisan Nasional memiliki basis suara yang kuat di daerah pedesaan. Ini termasuk Partai Islam Se-Malaysia (PAS), yang mulai mendekat ke Umno.
Sedangkan koalisi oposisi Pakatan Harapan, yang dimotori Partai Keadilan Rakyat dan PPBM, memiliki basis suara yang kuat di daerah perkotaan.
Untuk bisa saling mengalahkan, Awang menyarankan, kedua barisan koalisi lebih banyak menawarkan kebijakan dan tawaran yang populer kepada rakyat.
Kepada Tempo, pengamat Bridget Welsh dari John Cabot University, Roma, Italia, mengatakan isu Malay Tsunami ini berpusat pada kalkulasi apakah suara etnis Melayu bakal terpecah.
Koalisi PH berharap bisa memenangkan sejumlah suara dari basis tradisional Partai Umno dan komunitas Melayu.
Sebaliknya, koalisi BN beranggapan suara Melayu yang hilang dari basis mereka bakal minimal. Apalagi, PAS sebagai partai berbasis pemilih muslim sekarang mulai mendekat kepada Umno.
“Partai yang memenangkan suara mayoritas komunitas Melayu dianggap, secara tradisional, berhak untuk memimpin Malaysia,” kata Welsh.
Kedua koalisi partai menggunakan konsep ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin suara dari calon pemilih. PH ingin menunjukkan bahwa mereka bisa mewakili komunitas Melayu dan mendapatkan dukungannya.
Sebaliknya, Perdana Menteri Najib Razak, yang memimpin Umno, menggunakan isu ini untuk menimbulkan rasa takut adanya perpecahan di komunitas Malaysia. Najib juga mencoba mengail dukungan dari komunitas Cina dan India, yang mungkin merasa kurang nyaman dengan pendekatan berbasis etnis oleh PH.