Korea Utara dan Amerika Serikat Memanas, Ini Kata Ahli LIPI
Kamis, 28 September 2017 14:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dr. Muhammad Rifqi Muna, seorang peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan konflik antara Korea Utara dan Amerika Serikat sudah mencapai tingkat yang membahayakan.
Indikasinya penolakan rezim Korea Utara terhadap sanksi terbaru Dewan Keamanan PBB, yang dijatuhkan pada 11 September lalu. Sanksi ini dikeluarkan bertepatan dengan peringatan hari serangan teroris pada 11 September di AS. Ini sebagai sanksi uji coba rudal balistik dan tes bom hidrogen yang dilakukan rezim Kim Jong un pada awal September.
Baca: AS Ucapkan Terima Kasih Cina Dukung Sanksi PBB ke Korea Utara
“Meski eskalasi konflik tinggi, opsi penggunaan senjata nuklir sangat kecil karena akan membahayakan bagi Korea Utara maupun Amerika Serikat,” kata Rifqi kepada Tempo, Selasa, 27 September 2017, kemarin.
Baca: Kementerian Perdagangan Cina Larang Ekspor BBM ke Korea Utara
Rifqi berpendapat pembatasan pasokan minyak dan pelarangan ekspor tekstil tidak mempengaruhi perekonomian Korea Utara saat ini. Sanksi itu semata – mata hanya mengurangi ruang gerak diplomasi dan kegiatan ekonomi Korea Utara.
Sebelumnya ketegangan antara dua negara itu kembali memanas setelah pesawat bomber Amerika Serikat terbang di atas pesisir timur Korea Utara. Menteri Luar Negeri Korea Utara, Ri Yong Ho, menganggap Amerika Serikat telah mendeklarasikan perang dan Pemerintah Korea Utara berhak melakukan upaya perlindungan diri termasuk menembak jatuh pesawat tempur AS yang mendekati wilayah mereka.
Presiden AS Donald Trump menyebut pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong un, sebagai "Manusia Roket Kecil" yang sedang melakukan bom bunuh diri untuk dirinya dan rezimnya. Sebaliknya Kim menyebut Trump sebagai dotard atau orang tua pikun, yang akan kalah perang.
KISTIN SEPTIYANI