TEMPO.CO, ANKARA - Tanggal 16 April 2017 akan menjadi hari yang bersejarah bagi Turki. Rakyat akan mengadakan referendum untuk menentukan sistem pemerintahan yang akan dianut negara pimpinan Presiden Recep Tayyep Erdogan.
Rakyat Turki akan diminta untuk memilih apakah setuju atau tidak dengan 18 butir perubahan konstitusi yang telah disepakati parlemen negara itu pada Januari lalu. Oleh sebagaian orang dianggap kontroversial karena hanya akan menjadikan Erdogan sebagai diktator baru, tak terkecuali Barat.
Tak hanya bermasalah di dalam negeri. Referendum itu juga mengoyak hubungan Turki dengan Eropa; khususnya Jerman, Belanda dan Austria. Memburuknya hubungan mereka menyusul larangan dari negara-negara itu terhadap menteri kabinet Turki yang akan melakukan kampanye kepada kaum ekspatriatnya.
Baca: Warga Turki Antusias Ikuti Referendum Nasional di Belanda
Eropa beralasan, kampanye itu akan membuat situasi dalam negeri terganggu mengingat negara-negara itu akan melakukan pemilihan umum.
Tak terima dengan pelarangan itu, Turki mengecam bahkan menyebut Jerman dan Belanda sebagai fasis dan tengah menghidupkan kembali Nazi gaya baru di Eropa.
Retaknya hubungan itu dimulai ketika Menteri Urusan Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya diusir saat sedang berpidato di Rotterdam. Sebelumnya pemerintah Belanda juga terlebih dahulu melarang pesawat yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mendarat di Rotterdam.
Pemerintah Belanda mengatakan izin Cavusoglu dicabut karena keberadaannya di Negeri Bunga Tulip dikhawatirkan mengganggu keamanan di sana. Sebab, Belanda akan menggelar pemeliharaan umum pada Rabu 15 Maret 2017.
Perselisihan politik ini memicu protes, baik di Belanda maupun Turki. Turki menuduh Belanda melanggar Konvensi Wina saat terjadinya bentrok di luar Konsulat Turki di Rotterdam.
Turki kemudian menurunkan hubungan diplomatik terhadap Belanda dengan menunda semua pembicaraan politik tingkat tinggi dan melarang Duta Besar Belanda kembali ke Ankara.
Tak hanya Belanda, beberapa pemimpin negara-negara Uni Eropa juga mengkritik Turki di tengah meningkatnya perselisihan yang disebabkan oleh usaha pemerintah Turki menyelenggarakan rapat umum warganya yang tinggal di negara-negara Eropa.
Rapat umum warga Turki ini bertujuan untuk mengerahkan sejumlah besar warga Turki yang tinggal di Eropa untuk memberi suara 'setuju' pada referendum yang dibuat untuk memperluas kewenangan presiden.
Baca: Berseteru dengan Turki, Akun Twitter Warga Belanda Diretas
Jerman, Austria dan Denmark juga menentang rapat-rapat umum itu digelar di negara mereka karena khawatir bisa memicu ketegangan.
Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen meminta Perdana Menteri Turki Binali Yildirim menunda lawatannya ke negara itu pada 20 Maret lalu. Ia berdalih khawatir prinsip-prinsip demokrasi berada dalam tekanan besar di Turki.
Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz menyebut rapat umum ini bisa meningkatkan friksi dan mempersulit integrasi warga Turki dengan masyarakat Austria.
Sementara pejabat di Jerman sikapnya juga mengeras terhadap Turki. Meski Kanselir Angela Merkel mengatakan pemerintahannya tidak melarang menteri Turki untuk menghadiri rapat umum di Jerman, tapi menteri kabinet Jerman menentangnya.
Sikap Uni Eropa ini mengundang Erdogan berkomentar tajam bahwa semangat Nazi Jerman telah melanda Eropa.
Perseteruan ini juga mengancam potensi Turki bergabung dengan blok ini.
Banyak negara menyebutkan persoalan keamanan sebagai alasan resmi mereka. Selain juga menyatakan keresahan mendalam mereka melihat tanggapan Turki terhadap upaya kudeta bulan Juli lalu dan anggapan adanya pergeseran Turki menjadi negara otoriter di bawah Erdogan.
BBC | REUTERS | DW | AFP | YON DEMA