TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan menyetujui kembalinya hukuman mati jika itu didukung oleh parlemen dan publik. Hal itu ia sampaikan kepada ribuan pendukung yang mengibarkan bendera saat berkumpul di Istanbul.
Ribuan orang tersebut berkumpul menyusul kudeta yang gagal pada bulan lalu. Erdogan menegaskan akan membersihkan negara dari semua pendukung ulama yang saat ini berbasis di Amerika Serikat, Fethullah Gulen. Ulama tersebut dianggap sebagai tokoh pemberontak oleh pemerintah Turki. Meski demikian, Gullen menyangkal atas keterlibatannya.
Tokoh agama dan pemimpin dua dari tiga partai oposisi Turki menghadiri rapat umum tersebut. Sedangkan Partai Kurdi tidak diundang. Setidaknya lebih dari 270 orang tewas dalam kudeta pada 15 Juli 2016. Hal tersebut memicu tindakan keras dari pemerintah. Ribuan orang yang diduga sebagai pendukung Gulen telah ditahan dan ada pula dipecat dari pekerjaan pemerintah.
Beberapa negara Barat mengkritisi respons pemerintah atas kudeta. Negara yang tergabung dalam Uni Eropa menolak untuk menerima hukuman mati di negara-negara anggota. Turki sendiri sudah mengajukan diri untuk masuk menjadi anggota negara Eropa tersebut.
"Turki adalah negara parlementer, mereka yang berhak untuk memutuskan hukuman mati. Saya menyatakan sejak awal bahwa saya akan menyetujui keputusan yang dibuat oleh parlemen," katanya.
Baca Juga:
Erdogan mengisyaratkan akan mengambil langkah-langkah keras di masa mendatang. "Mereka mengatakan tidak ada hukuman mati di Uni Eropa. Tetapi, AS, Jepang, dan Cina menerapkannya," kata Erdogan.
Erdogan mengatakan sebagian besar negara di dunia menerapkan hukuman mati. Negara-negara tersebut, kata dia, diizinkan untuk menerapkannya. Sedangkan Turki pernah menerapkan hukuman mati, tapi sempat hilang pada 1984. "Kedaulatan milik rakyat, sehingga jika masyarakat membuat keputusan ini, saya yakin partai-partai politik akan mematuhi," katanya.
BBC.COM | LARISSA