TEMPO.CO, Jakarta - Mina Justice terbangun dari tidurnya ketika sebuah pesan pendek masuk ke ponselnya pada pukul 02.06 dini hari waktu setempat. Pesan tersebut berasal dari anaknya, Eddie Justice, 30 tahun, yang sedang pergi ke kelab pada malam itu.
"Mommy, I love you," tulis Eddie. "Di kelab, mereka menembaki kami." Malam itu, Minggu, 12 Juni 2016, di kelab malam gay Pulse yang ia datangi, seorang pria bernama Omar Mateen masuk dan menembaki pengunjung, menyebabkan 50 orang tewas, termasuk Eddie.
Mina terkaget-kaget membaca pesan itu. Ia mencoba menelpon Eddie, namun tidak diangkat. Akhirnya, ia membalas pesan Eddie dengan menanyakan kabar dia. Jawaban Eddie pun singkat, bahwa ia terjebak di dalam toilet.
Ia kemudian menyebutkan kelab tempat ia terjebak, yakni Pulse, Orlando, Florida. Ia meminta ibunya memanggil polisi. "Aku akan mati," tulis Eddie.
Mina bergegas menelpon 911 dan berkali-kali menanyakan kabar Eddie. Ia baru membalas setengah jam dari pesan terakhirnya. Ia mendesak ibunya segera memanggil polisi. "Ia datang. Aku akan mati," kata dia.
Mina menanyakan apakah banyak yang terluka dalam serangan itu. Eddie mengiyakan dan kembali tak membalas pesan ibunya.
Empat menit kemudian ia kembali membalas. Mengatakan kalau si penembak sudah berada di dalam kamar mandi. Ia menyebut si penembak sudah mengincar dia dan teman-temannya. Mina menenangkan dengan mengatakan polisi sudah berada di sana. Ia memastikan apakah Eddie masih di kamar mandi.
Pada pukul 02.50 waktu setempat Eddie membalas. "Dia adalah teror." Semenit kemudian pesan terakhir dari dia muncul. "Ya," kata Eddie.
Mina kemudian mendapat kabar bahwa anaknya menjadi salah satu dari 50 korban tewas dalam aksi teror tersebut. Eddie adalah seorang akuntan. Mina tahu anaknya adalah seorang gay dan sering main ke kelab.
Mina mengatakan anaknya adalah seorang yang senang makan, berolahraga, dan membuat orang tertawa. Ia tinggal di sebuah condo di kota Orlando.
Sang penembak Omar Mateen, 29 tahun, tewas setelah dilumpuhkan polisi. Sebelum melakukan serangan, ia menelpon 911 dan mengatakan sumpah setianya pada Abu Bakr Albaghdadi, pemimpin kelompok negara teror ISIS.
Serangan ini sekaligus menjadi serangan paling mematikan di Amerika setelah tragedi 9/11. ISIS sudah mengkalim bahwa Omar Mateen adalah salah satu pejuang mereka.
EGI ADYATAMA | THE GUARDIAN