TEMPO.CO, Jakarta - Hampir 690 juta dari 2,3 miliar anak-anak di dunia menjadi korban karena hidup di wilayah paling terdampak perubahan iklim. Mereka menghadapi tingkat kematian, kemiskinan, dan penyakit lebih tinggi akibat pemanasan alam.
Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa Urusan Anak-anak (UNICEF) berjudul "Kecuali Kita Bertindak Sekarang" dinyatakan hampir 530 juta anak-anak hidup di negara paling parah dilanda banjir dan badai tropis, sebagian besar di Asia, sedangkan 160 juta anak-anak lain tumbuh di wilayah dengan kekeringan parah, terutama di Afrika.
"Anak-anak akan menanggung beban perubahan iklim. Mereka sudah menanggung sebagian besar dampaknya," kata Nicholas Rees, spesialis kebijakan UNICEF sekaligus penulis laporan tersebut.
"Banyaknya anak-anak terpapar bahaya iklim sangat menghawatirkan," katanya dalam laporan itu, Selasa, 24 November 2015.
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan Presiden China, Xi Jinping, akan bergabung dengan lebih dari 135 pemimpin dunia di Paris dalam konferensi internasional yang bertujuan meraih kesepakatan pertama tentang penanganan pemanasan global dalam 20 tahun ke depan.
Tugas paling mendesak yang harus dilakukan para pemerintah dunia, kata Rees, yakni menyepakati pembatasan emisi gas rumah kaca, tapi upaya pada level nasional juga diperlukan. "Saat pengaruh kesepakatan itu muncul, anak-anak masih akan bisa bersekolah dan memperoleh perawatan kesehatan yang mereka butuhkan," kata dia.
Perhatian utama terletak pada paparan mendetail tentang penyakit mematikan akibat perubahan iklim dan naiknya suhu bumi, seperti malaria, pneumonia, diare, dan kurang gizi. Gelombang panas, yang terjadi lebih sering daripada sebelumnya, mengakibatkan ruam parah, kram, kelelahan, dan dehidrasi, yang merupakan penyebab umum hipertermia dan kematikan pada bayi dan anak-anak.
Dampak kekeringan pertanian mengakibatkan malnutrisi dan kekurangan gizi, yang merupakan penyebab utama kematian setengah populasi balita di seluruh dunia. Dari 160 juta anak yang tinggal di daerah terdampak kekeringan hebat, hampir 50 juta di antanya berada di negara-negara yang separuh penduduknya hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 4 per hari.
Perubahan iklim juga semakin memperburuk kesenjangan, kata Rees. "Anak-anak miskin dan anak-anak kaya tidak memiliki kesempatan yang sama saat banjir atau kekeringan terjadi," katanya.
Daerah pesisir di Asia Selatan, Amerika Latin, dan Kepulauan Karibia, termasuk yang paling rentan terdampak. Begitu pula dengan pulau-pulau Pasifik, wilayah Tanduk Afrika, dan wilayah khatulistiwa di Afrika.
"Saat ini, anak-anak menjadi yang paling tidak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, tapi nantinya, mereka dan anak-anak mereka kelak, akan hidup dengan konsekuensi dari perubahan iklim," kata Direktur UNICEF Anthony Lake.
Konferensi Perubahan Iklim atau COP 21 akan dibuka pada 30 November dan dijadwalkan selesai pada 11 Desember 2015.
ANTARA