Wajar jika praktisi pendidikan dari seluruh dunia pun datang ke Finlandia. Tak sedikit yang ingin tahu resep rahasia sukses sistem pendidikan di negara berpenduduk 5,5 juta ini. Adakah resep rahasia itu? “Tidak ada,” kata Profesor Jari Lavonen, Kepala Pendidikan Guru di Universitas Helsinki. Dia menegaskan bahwa sama sekali tak ada resep rahasia, jurus jitu, apalagi instan. Sistem pendidikan dirancang dengan hati-hati, dengan melibatkan para guru yang betul-betul ada di lapangan, dan dilakukan bertahap dan kontinu.
“Perubahan yang tergesa-gesa hanya akan merusak sistem yang sudah dibangun perlahan,” kata Lavonen. Karena itu pendidikan di Finlandia dijauhkan dari gonjang-ganjing politik. “Di sini semua elemen setuju bahwa pergantian pemerintahan tidak berarti perubahan kurikulum. Taruhannya terlalu besar,” kata Lavonen.
Di Finlandia, proses pembenahan pendidikan secara serius dimulai pada 1960-an. Ada dua prinsip utama pendidikan di Finlandia. Prinsip pertama adalah equality atau kesetaraan. Setiap anak, kaya, miskin, dari etnis mana pun, harus mendapat kesempatan pendidikan yang sama dan setara. Walhasil, pendidikan dibuat gratis untuk semua level, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tak ada sekolah swasta di Finlandia, semua sekolah dimiliki dan dikelola pemerintah. Semua sekolah dan universitas terbuka untuk semua warga Finlandia, miskin atau kaya.
Pendidikan yang gratis ini juga termasuk makan siang yang sehat dan bermutu. “Supaya orang tua, terutama yang tak mampu secara finansial, tetap nyaman bekerja dan menyekolahkan anak,” kata Anita Leihkonen, Sekretaris Permanen Menteri Pendidikan. Makan siang gratis ini juga merupakan intervensi pemerintah pada kualitas gizi, yang mempengaruhi kualitas pertumbuhan generasi muda. “Kami sadar bahwa populasi kami cenderung menua, aging population. Jadi, generasi muda adalah aset yang harus kami rawat,” kata Anita Leihkonen.
Prinsip kedua dalam sistem pendidikan Finlandia adalah trust building society. “Pendidikan harus menjadi tapak utama membangun masyarakat yang saling percaya,” kata Jari Lavonen. Itu sebabnya, tak ada pengawas sekolah, tak ada inspektorat pendidikan, dan tak ada ujian. Guru pun diberi ruang otonomi untuk menerapkan kurikulum menurut kebutuhan lokal. Memang, sekali waktu ada ujian atau survei yang fungsinya semacam check point. “Tapi survei ini sama sekali tidak menentukan nilai murid atau sekolah,” kata Lavonen. Tes itu hanya untuk mengetahui sampai di mana proses belajar dan untuk memperbaiki kekurangan. (Bersambung)
Selanjutnya: Sekolah Ajaib: Di Sini Profesi Guru di Atas Dokter (3)
Mardiyah Chamim, Helsinki
Liputan Lengkap:
Sekolah Ajaib: Penyelamat Bangsa dari Kelaparan (1)
Sekolah Ajaib: Makan Siang pun Gratis bagi Siswa (2)
Sekolah Ajaib: Di Sini Profesi Guru di Atas Dokter (3)
Sekolah Ajaib: Sejak Balita Sudah Ditemani Kotak Sakti (4)
IKUTI: TEMPO HADIAH RAMADAN 2015