TEMPO.CO, Nagoro - Nagoro adalah sebuah desa kecil di sebelah selatan Jepang. Sepintas tak ada yang istimewa dari desa ini. Nagoro hanya dihuni sekitar 35 orang, yang rata-rata berprofesi sebagai petani, tapi Anda akan terkejut ketika mendapati bahwa banyak boneka mirip orang-orangan sawah di kawasan yang terletak di Pulau Shikoku tersebut.
Boneka tersebut diatur sedemikian rupa seolah-olah mereka sedang melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari. Ada versi anak kecil sedang keluar dari kelas. Lalu sekumpulan boneka menunggu bus di sebuah halte kumuh. Dan sepasang dari mereka berdiri di pintu masuk desa, di sebelah tanda "Scarecrow Village."
Tsukimi Ayano, 65 tahun, telah membuat 350 boneka selama dekade terakhir. Proyek ini dimulai sekitar 13 tahun yang lalu, ketika ia menanam bibit namun mereka tidak tumbuh. Jadi dia membuat orang-orangan sawah menyerupai ayahnya untuk menakuti burung, dia mengatakan kepada Reuters yang dilansir Washington Post pada 16 Maret 2015.
Dia terus membuat boneka demi boneka. Setiap boneka simbol penghormatan kepada mantan penduduk Nagoro, baik yang masih hidup maupun yang meninggal. Banyak penduduk meninggalkan desa menuju kota yang lebih padat. Mereka yang tinggal rata-rata orang tua dan pensiunan. "Di desa ini, hanya ada 35 orang," kata Ayano. "Tapi ada 150 orangan sawah."
Sekarang, Ayano meramaikan desa dengan kreasi buatan tangan nya. "Ketika saya membuat boneka orang yang sudah meninggal, saya berpikir tentang mereka ketika mereka masih hidup dan sehat," kata Ayano . "Boneka sudah seperti anak-anak saya sendiri."
Osamu Suzuki, warga Nagoro 68 tahun, mengatakan boneka juga dibuat atas permintaan orang lain, "Bagi mereka yang telah kehilangan kakek atau nenek mereka. Jadi mereka memesan sebagai sesuatu yang membawa kembali kenangan."
Boneka telah menarik para wisatawan yang bertandang ke desa tersebut. Mereka, bahkan, dapat terlihat di Google Street View. Boneka orang-orangan sawah biasanya tidak berumur panjang. Kebanyakan dari boneka ini hanya dapat bertahan sekitar tiga tahun.
WASHINGTON POST | YON DEMA