TEMPO.CO, Manila - Pemerintah Filipina mengecam “agenda ekspansi” Cina dalam sengketa wilayah Laut Cina Selatan dan menyerukan negara-negara yang bersinggungan untuk menghentikan tindakan yang bisa meningkatkan ketegangan. Filipina menuding Cina sengaja tergesa-gesa melakukan ekspansi sebelum kode etik (code of conduct) yang sedang dirundingkan bersama negara-negara ASEAN selesai.
Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario menyokong usul Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Asia Timur, Daniel Russel, yakni bahwa Cina dan negara-negara Asia Tenggara harus bersama-sama melakukan dialog perihal Laut Cina Selatan.
“Mari kita melaksanakan moratorium kegiatan yang dapat meningkatkan ketegangan,” kata Del Rosario kepada stasiun televisi ANC, Senin, 16 Juni 2014. “Kita lakukan sekarang pada saat kita masih menyelesaikan kode etik dan implementasi yang efektif.”
Dia mengatakan Cina dan negara-negara yang bersinggungan lain tampak berlomba-lomba melakukan kegiatan konstruksi di wilayah Laut Cina Selatan. Aktivitas ini bertujuan memperluas klaim batas wilayah dengan negara-negara tetangga.
“Mereka mempercepat agenda ekspansi, salah satu alasannya, mereka ingin melakukan ini sebelum ada kesepakatan kode etik,” ujarnya.
Pernyataan Rosario dikeluarkan sehari setelah Cina mengumumkan pembangunan sekolah di Kepulauan Paracel, wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Sekolah tersebut menambah fasilitas Cina yang dibangun di Pulau Yongxing, pulau terbesar di kepulauan yang mereka sebut Xisha. (Baca: Cina Bangun Sekolah di Pulau Sengketa)
Negara-negara Asia Tenggara telah mendesak Cina untuk menyepakati kode etik seperangkat aturan tata perilaku aktivitas di wilayah Laut Cina Selatan. Tahun lalu, Filipina mengajukan kasus Laut Cina Selatan ke Pengadilan Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag. Kasus ini diajukan untuk memperjelas hak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang dimiliki Laut Cina Selatan di bawah Konvensi PBB tentang hukum laut.
Cina mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut Cina Selatan, yang diyakini memiliki cadangan minyak dan gas yang besar dan kaya akan sumber daya perikanan. Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan juga mengklaim batas wilayah Laut Cina Selatan yang memiliki potensi US$ 5 triliun dari perdagangan dan pelayaran kapal yang melewati wilayah ini setiap tahun.
REUTERS | ROSALINA
Berita lainnya:
Putra Prabowo Mengaku Tak Pernah Dikritik Ayahnya
Manning: Sejak Awal Publik Dibohongi soal Irak
Jokowi Dianggap Terlalu Banyak Mengulang KJP-KJS