TEMPO.CO, Jakarta - Mantan analis keuangan di satu bank, Shandra Woworuntu, 27 tahun, menjadi korban perbudakan seks di Amerika Serikat. Warga Indonesia ini berhasil melarikan diri dari kamar mandi tempat ia disekap bersama beberapa korban lainnya.
Shandra berusaha melaporkan kasus yang dialaminya ke polisi, juga ke Konsulat Jenderal Indonesia di New York. Namun, menurut Shandra, bantuan yang diinginkan tak diberikan. Sampai akhirnya dia memberikan catatannya ke FBI sehingga kepolisian federal itu akhirnya menelusuri sindikat perdagangan tersebut. (Baca: Buku Harian Itu Ubah Nasib Shandra Woworuntu)
Dalam wawancara dengan VOA hari Ahad, 2 Februari 2014, Shandra Woworuntu sempat menyesalkan sikap KJRI New York yang dinilai tidak membantunya ketika mengurus dokumen perjalanan.
“Sulit meyakinkan orang di KJRI bahwa paspor saya diambil orang jahat karena mereka menganggap saya datang ke Amerika sebagai pelacur untuk mencari keuntungan. Mungkin karena saat itu polisi dan orang di KJRI tidak tahu apa itu kejahatan perdagangan manusia,” kata Shandra.
Kisah yang dialami Shandra Woworuntu, warga Indonesia di New York, ternyata membuka bagaimana sindikasi perdagangan manusia beroperasi di Amerika Serikat. Bahkan pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri-nya mengakui negaranya menjadi sumber transit dan negara tujuan bagi perdagangan seks dan pekerja paksa.
Seperti dilansir dalam laporannya yang berjudul Global Trafficking in Persons pada 2013, pemerintah Amerika menyebut negaranya sebagai sumber transit dan tujuan warga sejumlah negara, terutama Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras, dan Indonesia, untuk dipekerjakan antara lain sebagai budak seks dan pekerja paksa.
Dalam catatan lembaga yang menentang perbudakan dan perdagangan manusia, The Alliance to End Slavery and Trafficking, 14-17 ribu manusia, perempuan, dan anak-anak diselundupkan masuk ke Amerika Serikat setiap tahun. Mereka dipekerjakan dalam bisnis perdagangan seks di pabrik-pabrik, perkebunan, dan bar sebagai pekerja paksa.
“Ini kejahatan terorganisasi. Mereka bekerja sangat terorganisasi,” kata Melysa Sperber, Direktur The Alliance to End Slavery and Trafficking, seperti dikutip Insider.
Bercermin dari pengalaman buruk Shandra, sejumlah anggota parlemen dan warga Amerika tengah menggodok undang-undang yang melarang mempekerjakan orang-orang asing yang masuk ke Amerika sebagai budak seks, pekerja paksa, dan kejahatan lainnya. Shandra ikut aktif mendorong digolkannya undang-undang itu.
“Saya berharap dapat memberikan bantuan lebih lagi kepada mereka untuk mengidentifikasi para korban. Karena saya percaya dengan koneksi saya, dengan kami bersama-sama, kami akan melawan perbudakan modern saat ini,” kata Shandra.
WDA | MARIA | VOA | BUSINES INSIDER