TEMPO.CO, Singapura - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) untuk mengurai kemacetan di Ibu Kota. Namun, rencana itu masih digodok oleh pemerintah sembari menunggu datangnya bus Transjakarta dan bus sedang baru.
Namun di Singapura, sistem pengendalian kendaraan ini sudah berjalan selama lima tahun. Tempo sempat mencoba berkendara di area ERP pada Senin, 20 Januari 2014. Ternyata, di jam-jam tertentu, sistem itu memang cukup menguras kantong pengendara.
Rombongan wartawan berkeliling melihat lokasi pembangunan stasiun Mass Rapid Transit (MRT). Eddy, supir bus yang mengantar rombongan kami, lalu menunjukkan gerbang ERP yang bentuknya seperti pintu tol. "Di sini tarifnya berbeda-beda, tergantung jam dan jenis kendaraan," ujarnya.
Tarif ERP memang bervariasi tergantung kondisi lalu lintas dan jenis kendaraan. Sepeda motor mendapat tarif termurah, bernilai antara SG$ 0,5 (sekitar Rp 4.700) sampai SG$ 1 (sekitar Rp 9.400), tergantung kondisi lalu lintas. Untuk mobil tarifnya berkisar antara SG$ 1-6. Begitu juga dengan bus.
Ketika memasuki Jalan Fort Canning sekitar pukul 14.00 waktu setempat, bus kami terkena tarif SG$ 1,5. Mobil tak perlu berhenti karena di dalam mobil sudah terpasang In-vehicle Units (IUs) yang berbentuk seperti mesin debit. Mobil hanya perlu memelankan kecepatan. Begitu terdengar bunyi "bip", saldo di kartu langsung terpotong.
Noura, pemandu kami selama di Singapura, mengatakan berkendara di Singapura terbilang mahal. Apalagi jika harus keluar masuk di sejumlah area ERP pada jam sibuk. "Tetapi kalau jalan sedang sepi, gerbang ERP tidak menyala," katanya. Tandanya, tak ada lampu yang menunjukkan jumlah tarif yang sedang berlaku.
Tarif ERP juga berbeda di akhir pekan. Pada Sabtu dan Minggu, ERP di area perkantoran tidak berlaku karena daerah itu sepi. Sementara di pusat bisnis dan wisata seperti di Orchard Road, tarifnya akan melambung di akhir pekan.
ANGGRITA DESYANI