TEMPO.CO, Tokyo - Menikah tidak menjadi target utama pria di Jepang saat ini. Bukan karena tak menemukan pasangan yang tepat, tapi mereka memang memilih hidup sendiri. Di Negeri Sakura sedang mewabah 'virus' pernikahan berujung perceraian. Satu di antara tiga pernikahan di sana berakhir dengan perpisahan.
Mudah sekali menemukan pria yang hidup sendiri. Mereka tinggal di apartemen berkamar satu, menyantap gyudon (nasi bercampur daging rebus) setiap hari. Tren hidup sendiri itu mengikuti kecenderungan untuk pensiun dini. Tahun 2012, angka pensiun dini meningkat hingga dua kali lipat ketimbang tahun lalu.
Profesor Masahiro Yamada dari Universitas Chuo menyatakan, peradaban modern di Jepang tidak lagi menginginkan "keluarga standar" (ada anak, suami, dan istri). Menurut dia, banyak generasi yang lahir pada 1970-an kini memilih tinggal sendiri.
"Jumlah pria yang memilih untuk melajang di usia paruh baya meningkat," kata Katsuhiko Fujimori dari Institut Penelitian dan Informasi Mizuho. Datanya terlihat dari jumlah pria lajang berusia 50-60 tahun dari 1985 hingga 2005 meningkat empat sampai lima kali lipat. "Jika ini berlanjut, pada 2030, satu di antara empat pria berusia 50-60-an akan hidup sendiri," kata Fujimori.
Penyebab pilihan hidup melajang atau tak bisa menikah rata-rata soal keuangan. Kebanyakan pria yang sendiri karena tak memiliki pendapatan atau pekerjaan tetap. Mereka masih tinggal di rumah orang tua dan tidak mampu independen secara keuangan.
Baca Juga:
Kecenderungan peningkatan lajang di Jepang juga mengubah beberapa budaya. Peneliti senior dari Institut Penelitian NRI, Akio Doteuchi, mengatakan, dua tahun lalu terjadi perubahan acara memasak di stasiun televisi. Program belajar memasak yang disiarkan NHK tersebut mengurangi porsi memasak atau penyediaan makanan. Semula, sekali memasak untuk empat porsi, kini menjadi dua saja.
"Di Tokyo, rata-rata jumlah anggota di setiap keluarga turun menjadi 1,99 individu," kata dia. Dengan kata lain, konsep keluarga di Jepang yang dulu menganut komposisi suami pekerja, ibu rumah tangga, dan satu atau dua anak, perlahan mulai sirna.
Efek yang membahayakan, kata Doteuchi, kecenderungan bunuh diri. Sebab, dari 33 ribu kasus bunuh diri tiap tahun, jumlah pelaku berusia 60 tahun mencapai 12 ribu. "Atau lebih dari sepertiga kasus," ujar dia. Kecenderungan perceraian juga membuat lebarnya jurang keterasingan sosial di Jepang.
Pengubahan struktur keluarga secara tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian. "Orang-orang tidak akan butuh mobil, bahkan akan lebih sedikit lagi yang beli rumah," ujar konsultan bisnis yang enggan disebut namanya. Jumlah penduduk yang menurun juga akan mengganggu jasa pendidikan anak, yang sudah terlihat ada tren menurun.
JAPANTODAY | DIANING SARI