TEMPO Interaktif, Paris – Tolong ya... ini bukan di Indonesia. Puluhan pekerja seks Prancis (sekali lagi bukan di Indonesia) memproklamirkan diri bahwa mereka bangga menjadi pelacur. Mereka berbaris untuk memprotes usulan anggota parlemen untuk melegalisasi pelacuran di Prancis. Mereka menganggap hukum seperti itu akan justru membatasi kebebasan mereka untuk bekerja sendiri.
Seorang anggota parlemen di Prancis dari partai pemerintah telah mengusulkan pembukaan kembali rumah bordil, setelah sejak enam dasawarsa mereka dilarang pindah tempat praktek dari jalanan. Usulan lainnya, memberi mereka layanan kesehatan, keuangan dan perlindungan hukum.
Para pengunjuk rasa mengatakan menuntut untuk membuat keputusan sendiri. "Kami adalah pekerja dan kami ingin pilihan untuk bekerja seperti yang kita inginkan," kata Thierry Schaffauser, 27, seorang pekerja seks dari Paris, yang sekarang tinggal di London. "Untuk dokter, mereka dapat bekerja untuk sebuah perusahaan atau mereka dapat mandiri. Saya kira pentingnya adalah membiarkan orang memilih bagaimana mereka ingin bekerja."
Puluhan pramunikmat ini berpartisipasi dalam konferensi tentang prostitusi sepanjang hari di Senat, yang diselenggarakan oleh seorang anggota parlemen yang menentang rancangan undang-undang yang diusulkan. Chantal Brunel anggota parlemen, yang mengusulkan undang-undang, justru tidak hadir.
Setelah konferensi, para pria dan wanita berbaris melalui Paris Left Bank, dengan mengenakan pakaian kerja minim. Beberapa membawa spanduk bertuliskan, "Kau tidur dengan kami, kau memilih melawan kami."
"Tidak ada yang perlu malu," kata Lola Bruna, pekerja seks berusia 19 tahun dari Paris. Mereka "digunakan untuk mengatakan bahwa ini adalah pekerjaan tertua yang pernah ada, dan itu bukan tanpa alasan."
Pelacuran itu dilarang secara hukum di Prancis pada tahun 1946. Tahun 2003 hukuman terhadap prostitusi semakin ketat dengan dua bulan penjara dan denda 3,750 euro atau sekitar Rp 48 juta.
AP| NUR HARYANTO