'Kepala lebih keras dari batu’
Sinwar ditangkap pada tahun 1988 dan dijatuhi hukuman empat kali penjara seumur hidup, karena dituduh mendalangi penculikan dan pembunuhan terhadap dua tentara Israel dan empat orang yang dicurigai sebagai informan Palestina.
Nabih Awadah, seorang mantan militan Komunis Lebanon yang pernah dipenjara bersama Sinwar di Ashkelon antara tahun 1991-1995, mengatakan bahwa pemimpin Hamas itu memandang perjanjian damai Oslo 1993 antara Israel dan Otoritas Palestina sebagai "bencana" dan tipu muslihat Israel, yang menurutnya hanya akan melepaskan tanah Palestina "dengan paksa, bukan dengan perundingan."
Menyebutnya "keras kepala dan dogmatis", Awadah mengatakan bahwa Sinwar akan berbinar-binar gembira setiap kali ia mendengar ada serangan terhadap warga Israel oleh Hamas atau kelompok Hizbullah Lebanon. Baginya, konfrontasi militer adalah satu-satunya jalan "untuk membebaskan Palestina" dari penjajahan Israel.
Awadah mengatakan bahwa Sinwar adalah "model yang berpengaruh bagi semua tawanan, bahkan bagi mereka yang bukan penganut Islam atau religius."
Michael Koubi, seorang mantan pejabat di badan keamanan Shin Bet Israel yang menginterogasi Sinwar selama 180 jam di penjara, mengatakan bahwa Sinwar jelas menonjol karena kemampuannya mengintimidasi dan memerintah.
Koubi pernah bertanya kepada militan tersebut, yang saat itu berusia 28 atau 29 tahun, mengapa dia belum menikah. "Dia mengatakan kepada saya bahwa Hamas adalah istri saya, Hamas adalah anak saya. Hamas bagi saya adalah segalanya." Sinwar menikah setelah dibebaskan dari penjara pada 2011 dan memiliki tiga orang anak.
Di penjara, dia terus mengejar mata-mata Palestina, kata Awadah, menggemakan laporan dari para interogator Shin Bet.
Naluri dan kehati-hatiannya yang tajam memungkinkannya untuk mengidentifikasi dan mengekspos informan Shin Bet yang disusupkan ke dalam penjara, kata Awadah.
Dia mengatakan bahwa kepemimpinan Sinwar sangat penting selama mogok makan pada tahun 1992, di mana dia memimpin lebih dari 1.000 tahanan untuk bertahan hidup hanya dengan air dan garam. Sinwar bernegosiasi dengan pihak berwenang penjara dan menolak untuk menerima konsesi parsial.
Dia juga menggunakan waktunya di penjara untuk belajar bahasa Ibrani yang fasih.
Awadah mengatakan bahwa Sinwar sering mengingat bahwa Ashkelon, tempat mereka dipenjara bersama, adalah kampung halaman leluhur keluarganya.
Ketika bermain tenis meja di halaman penjara Ashkelon, yang sekarang bernama Israel, Sinwar sering bermain tanpa alas kaki, dan mengatakan bahwa ia ingin kakinya menyentuh tanah Palestina.
"Sinwar sering mengatakan kepada kami: 'Saya tidak berada di penjara, saya berada di tanah saya. Saya bebas di sini, di negara saya."
REUTERS
Pilihan Editor: Ketika Mata Dunia Beralih ke Lebanon, Hal Ini yang Ditakutkan Warga Gaza