TEMPO.CO, Jakarta - CEO Telegram Pavel Durov ditangkap aparat kepolisian Prancis pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Dia ditahan dengan sejumlah tuduhan, mulai dari transaksi narkoba, pornografi anak, hingga dituduh gagal menghentikan berbagai aksi kriminalitas di aplikasi pesan singkat Telegram. Namun, laki-laki asal Rusia tersebut menegaskan dia tidak menyembunyikan apa pun.
Melansir dari Britannica, Durov awalnya mendirikan sebuah media sosial yang dikenal sebagai Facebook-nya Rusia bernama VKontakte atau VK pada 2006. Sejak diluncurkan, pengguna VK tumbuh menjadi lebih dari 100 juta pengguna di awal tahun 2010-an.
Pertumbuhan pengguna (users) yang pesat tersebut pun menarik perhatian pemerintah Rusia. Pada 2011, Moskow meminta VKontakte untuk menyensor unggahan yang berhubungan dengan unjuk rasa pemilu parlemen, tetapi Durov menolak. Lantaran menghadapi berbagai kampanye kotor, tekanan untuk menjual VKontakte, hingga kunjungan polisi bersenjata lengkap ke rumahnya, Durov akhirnya memutuskan untuk menjual sisa saham perusahaan.
Kemudian pada 2013, Durov dan Nikolai Durov mendirikan Telegram dengan harapan tanpa adanya campur tangan pemerintah. Tepat pada 14 Agustus 2013, Telegram untuk ponsel berbasis iOS resmi diluncurkan. Dua bulan kemudian, Telegram versi alfa untuk Android dirilis dengan mengusung beberapa fitur utama, yaitu obrolan terenkripsi ujung ke ujung, penghitung waktu atau timer penghapus pesan otomatis, serta protokol dan API yang terdokumentasi.
Diduga Alat Komunikasi Kelompok Ekstremis
Fitur privasi obrolan terenkripsi ujung ke ujung disebut telah menarik minat kelompok-kelompok ekstremis yang ingin menjaga komunikasi tetap rahasia, termasuk neo-Nazi. Pada 2015, Anti-Defamation League (ADL) menemukan sejumlah saluran dan grup Telegram yang berkaitan dengan kelompok pemberontak Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Setelah serangan teroris di Paris pada 2015, di mana ekstremis yang berafiliasi dengan ISIS menewaskan sekitar 130 orang, Pavel Durov mengumumkan akan memblokir saluran publik ISIS dari aplikasi. Pada 2019, ADL pun menyebut Telegram sebagai tempat berlindung bagi supremasi kulit putih.
Pada Juni 2023 pemimpin Wagner Group, Yevgeny Prigozhin mengunggah memo suara di Telegram berisi kabar tentang upaya kudeta kepada 1,3 juta pengikutnya. Oleh karena itu, The Atlantic menjuluki Telegram sebagai aplikasi terpenting di dunia pada 2023 karena perannya dalam pemberontakan Prigozhin terhadap petahana militer Rusia.
Di sisi lain dalam Perang Ukraina, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky diduga menggunakan Telegram untuk membagikan informasi terbaru melalui video, meskipun dia menyamar di aplikasi itu (tak menggunakan identitas asli). Warga Rusia dan Ukraina menganggap Telegram sebagai alat yang berperan penting untuk berbagi berita, memantau keselamatan, dan melawan propaganda di masa perang.
Menurut Business of Apps, Telegram menghasilkan US$ 45 juta atau sekitar Rp 675 miliar pada 2023, terutama melalui layanan premium yang ditawarkannya. Adapun jumlah pengguna aktif bulanan aplikasi tersebut mencapai 800 juta orang.
Telegram menjadi aplikasi perpesanan singkat paling populer di Iran dan Uzbekistan. Lebih dari 15 miliar pesan dikirim setiap hari di dunia melalui aplikasi itu pada 2016. Sementara jumlah unduhannya mencapai lebih dari dua miliar kali, dengan 420 juta unduhan terjadi pada 2023.
Sumber: britannica.com | businessofapps.com | dunia.tempo.co | telegram.org
Pilihan editor: Heboh, Arab Saudi Akan Bangun Bioskop Dekat Ka'bah
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini