TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Sentral Israel Amir Yaron mendesak Tel Aviv pada Minggu, 31 Maret 2024 agar menetapkan prioritas fiskal yang “sesuai” anggaran negara dan menerapkan kebijakan ekonomi yang “bertanggung jawab” di tengah perang Gaza yang masih berkecamuk. Salah satu usulan Yaron adalah meminta lebih banyak laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks bergabung ke militer Israel untuk menghindari dampak buruk perang Gaza ke ekonomi Israel.
“Selama perang Gaza, pemerintah menerapkan kebijakan ekspansif, yang mencakup peningkatan besar dalam biaya tempur, program yang mendukung rumah tangga dari daerah konflik, bantuan bagi pekerja dan dunia usaha di seluruh negeri,” kata Yaron, dalam suratnya kepada pemerintah bersama laporan tahunan Bank Sentral Israel 2023.
Ke depannya, kata Yaron, perekonomian Israel menghadapi tantangan signifikan yang diakibatkan perang Gaza, selain tantangan struktural terkait permasalahan mendasar yang telah ada selama beberapa waktu.
Dalam laporan tahunannya, Bank Sentral Israel mencatat pengeluaran anggaran untuk 2023-2024 telah meningkat sebesar NIS 100 miliar akibat biaya perang yang pecah setelah terjadi serangan 7 Oktober 2023. Dikatakan penyesuaian anggaran yang dilakukan pemerintah sejauh ini untuk menjaga tanggung jawab fiskal dan kredibilitas kebijakan fiskal di pasar global dan masyarakat tidak memadai.
Bank Sentral Israel memperingatkan dampak buruk ekonomi yang bakar terjadi - jika lebih banyak laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks tidak bergabung dengan militer negara tersebut. Bank Sentral Israel menyoroti dalam laporannya kebutuhan personel militer Israel sejak perang di Gaza, yang dikatakan telah menambah beban perekonomian karena setiap hari meningkat dengan tajam untuk mendanai warga yang wajib militer dan tentara cadangan. Hal itu mengganggu perekonomian para prajurit dan juga lapangan kerja.
“Memperluas lingkaran personel militer hingga mencakup populasi ultra-Ortodoks … akan memungkinkan untuk menjawab masalah peningkatan kebutuhan pertahanan sekaligus mengurangi dampaknya terhadap personel dan perekonomian,” katanya.
Kaum Yahudi ultra-Ortodoks di Israel mendapatkan pengecualian wajib militer. Pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada Februari 2024 mereka akan mencari cara untuk mengakhiri pengecualian tersebut agar beban masa perang tersebar ke seluruh lapisan masyarakat dengan lebih adil.
Akan tetapi, keputusan tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai Yahudi ultra-Ortodoks dan menciptakan keretakan dalam koalisi. Tel Aviv seharusnya merampungkan undang-undang tentang masalah ini pada Minggu, 31 Maret 2024, namun Netanyahu mengajukan permohonan pada menit-menit terakhir kepada Mahkamah Agung agar ditunda selama 30 hari ke depan. Bank Sentral Israel mengatakan sektor ultra-Ortodoks yang tumbuh pesat kini menyumbang 7 persen dari perekonomian, namun akan meningkat sebesar 25 persen dalam waktu 40 tahun mendatang.
REUTERS
Pilihan editor: Benjamin Netanyahu Dikritik Mantan Pegawainya
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini