TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu, 17 Maret 2024, mengatakan Israel akan menyerang Rafah, tempat terakhir yang relatif aman di daerah kantong Gaza yang kecil dan padat setelah lebih dari lima bulan perang, meskipun ada tekanan internasional agar Israel menghindari jatuhnya korban sipil.
Sebelum 7 Oktober, kota yang luasnya hanya 64 km2 ini sudah kelebihan penduduk dan didera kemiskinan serta kondisi kehidupan yang keras akibat blokade Israel selama 17 tahun. Sejak israel mengusir warga Gaza utara dan tengah ke selatan, populasi Rafah meningkat empat kali lipat dalam hitungan bulan menjadi sekitar 1,5 juta jiwa.
Sebelum menjadi wilayah yang telah hancur lebur, Rafah memiliki sejarah panjang sebagai kota.
Dari Oasis hingga Tempat Peristirahatan
Rafah diperkirakan telah dihuni selama lebih dari 3.000 tahun, dengan namanya muncul dalam prasasti Mesir kuno yang berasal dari abad ke-13 Sebelum Masehi.
Kota ini bermula dari pemukiman yang muncul di sekitar sebuah oasis yang menghubungkan Semenanjung Sinai dengan Gaza. Kota ini disebut sebagai Robihwa oleh orang Mesir kuno, Raphia oleh orang Yunani dan Romawi, Rafiah oleh orang Israel, dan Rafah oleh orang Arab.
Kota ini merupakan lokasi Pertempuran Raphia pada 217 SM, salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah kuno, yang melibatkan sekitar 150.000 pejuang dan hampir 200 ekor gajah.
Konflik antara kerajaan Ptolemeus dan kekaisaran Seleukus terjadi di wilayah Coele Suriah, yang merupakan bagian dari Suriah dan Lebanon modern.
Rafah kemudian dikuasai secara singkat oleh kerajaan Hasmonean, setelah ditaklukkan oleh raja Yahudi Helenistik, Yannai Alexander. Kemudian kota ini jatuh ke tangan Romawi selama sekitar tujuh abad.
Pada 635 M, di tahun-tahun awal agama Islam, tentara Kekhalifahan Rasyidin merebut kota ini dari Bizantium.
Kota ini kemudian berada di tangan beberapa penguasa dan dinasti Muslim, termasuk Bani Umayyah, Abbasiyah, dan kemudian Utsmaniyah.
Selama abad-abad awal pemerintahan Muslim, Rafah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi para pedagang yang melakukan perjalanan. Kota ini memiliki hotel, toko, pasar, dan masjid, menurut sejarawan abad ke-11.
Komunitas Yahudi berkembang di Rafah pada momen-momen berbeda antara abad kesembilan dan kedua belas, tetapi kebanyakan dari mereka pada akhirnya pergi ke wilayah Ashkelon, yang kini menjadi Israel.