TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengatakan negaranya akan terus mengatasi perbedaan dengan Cina di Laut Cina Selatan secara bilateral dan melalui mekanisme ASEAN, namun tak akan menyerahkan yurisdiksi maritimnya di wilayah laut tersebut.
Berbicara di forum Lowy Institute di Australia pada Senin, 4 Maret 2024, presiden itu mengingatkan bahwa “persahabatan dan kekerabatan selama berabad-abad” mengikat masyarakat Filipina dan Cina. Kedua negara menjalin Kerja Sama Strategis Komprehensif meski hubungan bilateral mereka akhir-akhir ini memburuk.
Marcos Jr. mengatakan kebijakan luar negeri Filipina yang independen memaksa negara tersebut untuk bekerja sama dengan Cina dalam hal-hal yang sejalan dengan kepentingan maupun dalam hal-hal yang berbeda pandangan.
“Dan mendorong kembali ketika prinsip-prinsip yang kami pegang, seperti kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi kami di Laut Filipina Barat — dipertanyakan atau diabaikan,” ujarnya, menggunakan sebutan resmi Filipina untuk bagian Laut Cina Selatan yang termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara tersebut.
Cina mengklaim hampir seluruh jalur perdagangan kapal Laut Cina Selatan. Wilayah yang diklaim bertumpang-tindih dengan ZEE sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016 mengatakan klaim Beijing atas Laut Cina Selatan tidak memiliki dasar hukum.
“Dalam konteks khusus Laut Cina Selatan, kepentingan kami jelas,” kata Marcos Jr.
Presiden yang akrab disapa Bongbong Marcos itu mengatakan Filipina tertarik untuk memastikan bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 dan dalam putusan Pengadilan Arbitrase Permanen tentang Laut Cina Selatan pada 2016 ditegakkan dengan tegas dan konsisten.
“Sangat disayangkan bahwa meskipun terdapat kejelasan dalam hukum internasional, tindakan provokatif, unilateral, dan ilegal terus melanggar kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi kita,” katanya.
Putra dari diktator Ferdinand Marcos Sr. itu menilai pola agresi Cina “menghalangi jalan kita menuju visi ASEAN mengenai Laut Cina Selatan sebagai lautan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran.”
Dia menyampaikan komitmen Filipina untuk terus menempuh jalur dialog dan diplomasi mengenai sengketa Laut Cina Selatan, meskipun menghadapi kesulitan. Kode etik atau Code of Conduct (CoC) Laut Cina Selatan antara ASEAN dan Cina tak kunjung rampung setelah bertahun-tahun, meski telah ada Deklarasi ASEAN-Cina tahun 2002 tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan.
“Kami akan terus melibatkan Cina, secara bilateral dan melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN, untuk mengatasi perbedaan di laut,” kata Marcos Jr.
Menurutnya, lingkungan kondusif di mana ketegangan dapat dikelola secara efektif “sangat penting” bagi keberhasilan negosiasi CoC. “Kami tidak akan pernah menyerahkan satu inci persegi pun wilayah dan yurisdiksi maritim kami,” ujarnya.
Dia menyatakan Filipina akan meningkatkan kemampuan Penjaga Pantai dan mengupayakan modernisasi Angkatan Bersenjata mereka.
Di bawah kepemimpinan Marcos Jr. yang berbeda dari sikap pro-Cina pendahulunya Rodrigo Duterte, Filipina telah meningkatkan jumlah pangkalan militernya hampir dua kali lipat, yang dapat diakses oleh pasukan Amerika Serikat.
Latihan militer AS-Filipina juga telah dilakukan secara rutin selama beberapa dekade, namun manuvernya telah diperluas hingga mencakup patroli udara dan laut gabungan di Laut Cina Selatan dan dekat Taiwan, tindakan yang dianggap Cina sebagai “menimbulkan masalah”.
REUTERS
Pilihan Editor: Haiti Berlakukan Status Darurat setelah Geng Bersenjata Serbu Penjara