TEMPO.CO, Jakarta - Tekanan meningkat terhadap Israel pada Jumat atas kematian ratusan warga Palestina yang sedang mengantre untuk mendapatkan bantuan di utara Gaza.
Sejumlah negara mendukung seruan PBB untuk melakukan penyelidikan atas serangan pada Kamis ketika tank Israel menembaki kerumunan warga Palestina yang kelaparan dan tengah menanti konvoi truk berisi makanan.
Otoritas kesehatan Gaza mengatakan pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 112 orang dan melukai lebih dari 780 lainnya, saat mereka mencoba mencapai konvoi bantuan di dekat Kota Gaza pada Kamis pagi.
Ratusan ribu warga Palestina di utara Gaza mengalami kelaparan setelah blokade Israel hampir lima bulan sejak 7 Oktober.
Israel menyalahkan sebagian besar kematian tersebut karena massa berkerumun di sekitar truk bantuan. Mereka menuding sebagian besar korban tewas karena terinjak atau tertabrak truk.
Kendati demikian, seorang pejabat Israel mengakui bahwa pasukannya menembaki warga Palestina yang mereka rasa merupakan ancaman.
Prancis dan Jerman mendukung seruan penyelidikan internasional. India mengatakan pihaknya “sangat terkejut” atas kematian tersebut dan Brasil mengatakan insiden tersebut melampaui “batas etika atau hukum”
Afrika Selatan, yang telah membawa kasus genosida terhadap Israel ke Mahkamah Internasional, mengutuk kematian tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyuarakan “kemarahan mendalam” dan “kecaman paling keras atas penembakan ini”. Jerman mengatakan "tentara Israel harus menjelaskan sepenuhnya bagaimana kepanikan massal dan penembakan bisa terjadi."
Sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat, juga mendesak dilakukannya penyelidikan menyeluruh, dengan mengatakan bahwa insiden tersebut menunjukkan perlunya “perluasan bantuan kemanusiaan untuk mencapai Gaza”.
Di Israel, menteri keamanan ultra-sayap kanan Itamar Ben-Gvir mendesak “dukungan penuh” kepada tentara Israel yang “bertindak sangat baik melawan massa Gaza yang mencoba menyakiti mereka”.
Namun, sebuah opini di situs berita online N12 mengatakan bahwa insiden tersebut menunjukkan kurangnya pemerintahan sipil atau supremasi hukum di Gaza, dan hal ini "dapat menempatkan Israel dalam posisi yang sulit dalam hal legitimasi untuk melanjutkan pertempuran".
Seorang kolumnis di surat kabar harian terbesar Yedioth Ahronoth mengatakan insiden itu akan "menciptakan titik balik dalam perang" dan dapat "menimbulkan tekanan internasional yang tidak dapat dilawan oleh Israel, termasuk dari Gedung Putih," katanya.