TEMPO.CO, Jakarta - Jepang secara tak terduga tergelincir ke dalam resesi pada akhir tahun lalu, kehilangan predikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia digusur Jerman dan meningkatkan keraguan mengenai kapan bank sentral akan mulai keluar dari kebijakan moneter ultra-longgarnya yang telah berlangsung selama satu dekade.
Beberapa analis memperingatkan akan adanya kontraksi lagi pada kuartal ini karena melemahnya permintaan di Cina, lesunya konsumsi dan terhentinya produksi pada unit Toyota Motor Corp, yang semuanya mengarah pada jalur menantang menuju pemulihan ekonomi dan pengambilan kebijakan.
“Yang paling mencolok adalah lesunya konsumsi dan belanja modal yang merupakan pilar utama permintaan domestik,” kata Yoshiki Shinke, ekonom eksekutif senior di Dai-ichi Life Research Institute.
“Perekonomian akan terus kekurangan momentum untuk saat ini tanpa adanya pendorong utama pertumbuhan.”
Produk domestik bruto (PDB) Jepang turun 0,4% secara tahunan pada periode Oktober-Desember setelah penurunan 3,3% pada kuartal sebelumnya, mengacaukan perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1,4%, demikian data pemerintah menunjukkan pada hari Kamis, 15 Februari 2024.
Kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai definisi resesi teknis.
Meskipun banyak analis masih memperkirakan Bank of Japan akan menghentikan stimulus moneternya secara bertahap pada tahun ini, data yang lemah mungkin menimbulkan keraguan terhadap perkiraan Bank of Japan bahwa kenaikan upah akan mendukung konsumsi dan menjaga inflasi tetap berada di sekitar target 2%.
“Penurunan PDB dua kali berturut-turut dan penurunan permintaan domestik tiga kali berturut-turut adalah berita buruk, meskipun revisi tersebut dapat mengubah angka akhir,” kata Stephan Angrick, ekonom senior di Moody's Analytics.
“Hal ini mempersulit bank sentral untuk membenarkan kenaikan suku bunga, apalagi serangkaian kenaikan.”
Menteri Perekonomian Yoshitaka Shindo menekankan perlunya mencapai pertumbuhan upah yang solid untuk mendukung konsumsi, yang ia gambarkan sebagai “kurangnya momentum” karena kenaikan harga.
“Pemahaman kami adalah bahwa BOJ memperhatikan secara komprehensif berbagai data, termasuk konsumsi, dan risiko terhadap perekonomian dalam mengarahkan kebijakan moneter,” katanya pada konferensi pers setelah rilis data tersebut, ketika ditanya tentang dampaknya terhadap kebijakan BOJ.
Yen stabil setelah data tersebut dirilis dan terakhir berada di 150,22 per dolar, berada di dekat level terendah tiga bulan yang dicapai pada awal minggu.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Jepang turun setelah data tersebut dirilis karena beberapa pedagang menolak spekulasi perubahan kebijakan BOJ lebih awal.
Imbal hasil acuan 10-tahun turun 4 basis poin menjadi 0,715%. Rata-rata saham menguat ke level tertinggi dalam 34 tahun, dengan data yang lebih jauh mendukung jaminan baru-baru ini dari BOJ bahwa biaya pinjaman akan tetap rendah bahkan setelah mengakhiri suku bunga negatif.
“Permintaan domestik yang lemah menyulitkan BOJ untuk melakukan pengetatan moneter,” kata Naomi Muguruma, kepala strategi obligasi di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities.
"Rintangan untuk mengakhiri suku bunga negatif pada bulan Maret telah meningkat."
Konsumsi swasta, yang mencakup lebih dari separuh aktivitas ekonomi, turun 0,2%, dibandingkan perkiraan pasar yang naik 0,1%, karena kenaikan biaya hidup dan cuaca membuat rumah tangga enggan makan di luar dan membeli pakaian musim dingin.
Belanja modal, mesin pertumbuhan utama sektor swasta lainnya, turun 0,1%, dibandingkan perkiraan kenaikan 0,3%. Konsumsi dan belanja modal menyusut selama tiga kuartal berturut-turut.
Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi perkiraan pertumbuhan global pada bulan Januari seiring membaiknya prospek Amerika Serikat dan Cina, namun memperingatkan adanya risiko termasuk ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
REUTERS
Pilihan Editor Bangkok Polusi Udara Parah, Pegawai Diminta Kerja dari Rumah