TEMPO.CO, Jakarta - Thailand telah mendeportasi anggota band rock Bi-2 ke Israel. Grup band asal Rusia dan Belarusia ini dikenal kritis terhadap perang Ukraina. Mereka ditahan di Thailand karena tampil tanpa izin.
Anggota Bi-2 telah tiba di Tel Aviv, Israel pada Rabu malam. Para aktivis hak asasi manusia telah memperingatkan kelompok tersebut akan menghadapi penganiayaan berat karena menentang perang Rusia di Ukraina jika mereka dipulangkan ke Rusia.
Pihak berwenang Thailand telah menahan anggota Bi-2 karena bekerja di pulau resor Phuket tanpa izin.
Nasib band ini memicu kecaman internasional, sehingga pejabat imigrasi Thailand memberikan pilihan kepada band tersebut untuk dideportasi ke tujuan lain jika mereka merasa tidak aman untuk kembali ke Rusia. Dewan Keamanan Nasional Thailand, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Srettha Thavisin, mengambil alih kasus ini pada hari Rabu.
Beberapa anggota band yang berbasis di Israel pada tahun 1990an, memiliki kewarganegaraan ganda, termasuk Israel dan Australia.
Wakil Kepala Polisi Surachate Hakparn membenarkan bahwa band tersebut telah meminta untuk dideportasi ke Israel.
Band ini ditahan minggu lalu setelah mereka tampil di Phuket, sebuah pulau di selatan yang populer di kalangan wisatawan Rusia. Pejabat Thailand mengatakan mereka ditahan karena tampil tanpa izin kerja yang benar dan dipindahkan ke pusat penahanan imigrasi di Bangkok.
VPI Event, penyelenggara konser band tersebut di Thailand, yang juga mencakup pertunjukan di Pattaya, mengatakan semua izin yang diperlukan telah diperoleh. Band tersebut diberikan visa turis karena kesalahan.
VPI menuduh konsulat Rusia telah melakukan kampanye untuk membatalkan konser tersebut sejak bulan Desember. VPI mengaku menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika mereka berupaya membebaskan band tersebut.
Bi-2, yang didirikan di Minsk, Belarusia, populer di Rusia. Kementerian Kehakiman Rusia menyebut penyanyi utama Yegor Bortnick sebagai “agen asing” setelah dia mengkritik Presiden Vladimir Putin secara online tahun lalu.
Salah satu pendiri band ini secara terbuka mengecam pemerintahan Putin. Ia mengatakan bahwa hal itu hanya membuatnya merasa “muak” dan menuduh pemimpin yang sudah lama menjabat itu telah “menghancurkan” Rusia.
Beberapa konser mereka dibatalkan pada 2022 setelah mereka menolak tampil di tempat yang memiliki spanduk mendukung perang di Ukraina. Setelah itu mereka meninggalkan Rusia.
Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch (HRW), mengatakan Kementerian Luar Negeri Thailand telah mengakui pentingnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dengan tidak mengirimkan band tersebut kembali ke Rusia. Robertson mengatakan meskipun Thailand rentan terhadap manipulasi efektif yang dilakukan oleh negara-negara besar yang melakukan penindasan transnasional, tekanan internasional dan kekhawatiran ekonomi global telah memainkan peran penting.
AL JAZEERA
Pilihan editor: Sosialisasi Pemilu 2024, Panwaslu Singapura Sambangi Kantong-kantong WNI