TEMPO.CO, Jakarta - Bangladesh akan menggelar Pemilihan Umum pada Minggu, 7 Januari 2023. Perdana Menteri Sheikh Hasina tampaknya akan terpilih untuk keempat kalinya berturut-turut, menyusul boikot oposisi.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperingatkan bahwa negara berpenduduk 170 juta jiwa itu sedang menuju pemerintahan satu partai, setelah boikot yang dilakukan oleh oposisi utama Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), meskipun negara-negara Barat, yang merupakan klien utama industri garmen Bangladesh, telah mendesak pemilihan umum yang bebas.
Di dinding-dinding di ibu kota Dhaka, slogan-slogan yang dicat dengan warna merah dan biru mendesak para pemilih untuk memilih “Sekali lagi, Syekh Hasina” dan “Pilih perahu”, yang merupakan simbol partai Liga Awami, sebelum kampanye berakhir pada hari Jumat, 5 Januari 2024.
Namun, karena hasil pemungutan suara sudah dipastikan, beberapa pemilih tidak melihat adanya alasan untuk hadir.
“Seluruh keluarga saya adalah pendukung setia Liga Awami,” kata guru sekolah Shayed Uz Zaman, seraya menambahkan bahwa mereka berencana memanfaatkan libur hari pemungutan suara pada hari Minggu untuk mengunjungi desa mereka di Kushtia, sebuah distrik sekitar 200 km dari Dhaka.
"Tetapi tidak ada daya tarik dalam pemungutan suara kali ini. Saya tahu dia tetap berkuasa."
Minggu biasanya merupakan hari kerja di Bangladesh yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pendukung Liga Awami lainnya, Minoti Rosario, yang mengelola sebuah toko kelontong, mengatakan dia merasa suaranya tidak berarti karena "partai yang berkuasa pasti menang".
Suara dalam pemilihan umum ke-12 di negara Asia Selatan itu sejak memperoleh kemerdekaan dari Pakistan pada tahun 1971 diperkirakan akan dihitung pada Minggu malam, dan hasilnya akan diumumkan pada Senin pagi.
Sekitar 120 juta pemilih terdaftar akan memilih 300 anggota parlemen dalam pemungutan suara tersebut, yang merupakan salah satu pemilu terbesar di dunia tahun ini. Hampir setengah dari seluruh pemilih adalah perempuan, sedangkan mereka yang memberikan suara untuk pertama kalinya berjumlah 15 juta.
BNP tidak ikut serta karena Hasina menolak permintaan mereka untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara untuk menjalankan pemilu.
Pasukan telah menyebar ke seluruh Bangladesh untuk menjaga tempat pemungutan suara, selain hampir 750.000 petugas polisi, paramiliter, dan pasukan pendukung polisi. Polisi meningkatkan penangkapan para pemimpin dan pekerja BNP setelah protes mematikan pada akhir Oktober.
Risiko kekerasan politik cukup tinggi, meskipun ekspektasi partisipasi pemilih rendah, kata International Crisis Group, sebuah lembaga pemikir independen.
“Pemilu tidak akan menyelesaikan krisis politik di Bangladesh,” kata Pierre Prakash, direktur Asia. “Sejak pemilu tahun 2008 yang membawa Liga Awami berkuasa, negara ini belum menyelenggarakan pemilu nasional yang kredibel.”
Dalam 15 tahun terakhir kekuasaannya, Hasina, 76 tahun, telah berjasa memperbaiki perekonomian dan industri garmen.
Namun para kritikus juga menuduhnya melakukan otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, tindakan keras terhadap kebebasan berpendapat dan penindasan terhadap perbedaan pendapat, dengan beberapa tokoh oposisi dipenjara.
Saingan utamanya dan dua kali menjadi perdana menteri, pemimpin BNP Khaleda Zia, sebenarnya berada dalam tahanan rumah atas tuduhan korupsi yang menurut pihak oposisi dibuat-buat.
Putra Khaleda, Tarique Rahman, adalah penjabat ketua partai tersebut, namun dia berada di pengasingan setelah beberapa tuduhan diajukan terhadapnya namun dia sangkal.
Perekonomian juga melambat tajam sejak perang Rusia-Ukraina yang meningkatkan harga bahan bakar dan impor pangan, sehingga memaksa Bangladesh meminta dana talangan sebesar $4,7 miliar pada Dana Moneter Internasional (IMF) tahun lalu.
REUTERS
Pilihan Editor Israel Kesulitan Cari Bukti Pemerkosaan dalam Operasi Banjir Al Aqsa 7 Oktober