TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang akhir tahun, Starbucks dikabarkan telah kehilangan nilai pasar hampir US$11 miliar (sekitar Rp15,5 triliun), karena boikot yang intens dan mogok kerja karyawan untuk mendukung Palestina, selain promosi liburan yang kurang hangat.
Untuk mengatasi kerugian yang sudah diperkirakan Starbucks, dan menjelang hari libur, perusahaan tersebut mengumumkan Hari Piala Merah; strategi pemasaran yang memberikan konsumen kesempatan untuk menerima cangkir liburan gratis yang dapat digunakan kembali pada setiap pembelian. Namun, sejak pengumuman promosi tersebut pada pertengahan November, Starbucks mengalami penurunan saham sebesar 8,96 persen, atau setara dengan kerugian sebesar $10,98 miliar, yang merupakan kerugian terendah yang pernah dialaminya sejak tahun 1992.
Hal ini disebabkan oleh seruan global baru-baru ini untuk memboikot merek dan waralaba yang secara langsung atau tidak langsung menguntungkan Israel secara ekonomi. Serikat pekerja Starbucks transparan dalam mendukung Palestina, ketika Israel melancarkan genosida di Gaza pada Oktober, dan mengambil kesempatan untuk menuntut kondisi kerja yang lebih baik, termasuk penjadwalan dan kebebasan untuk menegosiasikan kontrak. Sejak itu, pemogokan karyawan terjadi secara konsisten.
Akibatnya, merek tersebut menyadari bahwa reputasinya dipertaruhkan. Meskipun mengalami kerugian baik secara ekonomi maupun sosial, CEO Starbucks Laxman Narasimhan yakin Starbucks dapat mengembalikan citranya dan bangkit dari "tantangan makroekonomi" yang dihadapinya.
Namun, statistik menunjukkan sebaliknya, karena upaya waralaba tidak konsisten dengan hasil yang mereka peroleh pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, tahun lalu, Hari Piala Merah menghasilkan peningkatan konsumsi sebesar 81 persen dibandingkan peningkatan konsumsi tahun ini yang hanya sebesar 31,7 persen.