TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Israel berhasil mencapai gencatan senjata dengan Hamas dengan dukungan dari mitra koalisi sayap kanan yang ia butuhkan untuk tetap berkuasa, namun beberapa anggota kabinet menyatakan ketidaksenangan mereka karena memberikan terlalu banyak konsesi kepada kelompok Palestina.
Kesepakatan antara Israel dan Hamas dicapai pada Rabu pagi, 22 November 2023, dengan mediasi dari Qatar, termasuk gencatan senjata beberapa hari dan pembebasan 50 sandera Israel yang ditahan di Gaza dengan imbalan 150 warga Palestina yang dipenjara oleh Israel, di antara langkah-langkah lainnya.
Sementara kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui gencatan senjata tersebut, anggota garis keras seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menegaskan kembali penolakannya bahkan setelah gencatan senjata diumumkan.
“Hamas menginginkan jeda ini lebih dari apa pun,” Ben-Gvir menulis di X, dan mengatakan bahwa jeda tersebut akan memberikan waktu bagi kelompok tersebut untuk mengisi kembali pasokan dan memformulasi ulang kelompoknya, kantor berita dpa melaporkan.
Ben-Gvir juga mengatakan pada Rabu bahwa Israel mengulangi kesalahan masa lalu, merujuk pada kesepakatan tahun 2011 ketika lebih dari 1.000 tahanan Palestina dibebaskan dengan imbalan tentara Israel Gilad Shalit, yang telah ditahan oleh Hamas selama lima tahun.
Setelah salah satu anggota kabinet mengatakan pentingnya menyampaikan pesan persatuan, media Israel Ynet melaporkan bahwa Ben-Gvir menjawab: “Tetapi kami tidak bersatu. Keputusan ini akan menyebabkan kerugian besar bagi kita selama beberapa generasi.”
Pertanyaan dari anggota parlemen dijawab oleh anggota militer dan intelijen Israel, yang berusaha menghilangkan kekhawatiran bahwa jeda dalam pertempuran dapat menghambat momentum Israel setelah lebih dari sebulan serangan tanpa henti di Gaza.
Presiden Isaac Herzog mengakui bahwa “keberatan tersebut dapat dimengerti, menyakitkan, dan sulit,” namun menambahkan dalam sebuah pernyataan bahwa mengingat keadaan yang ada, dia mendukung pemerintah untuk melanjutkan kesepakatan tersebut.
“Ini adalah kewajiban moral dan etika yang secara tepat mengungkapkan nilai-nilai Yahudi dan Israel dalam menjamin kebebasan mereka yang disandera, dengan harapan bahwa ini akan menjadi langkah pertama dalam memulangkan semua sandera,” kata Herzog.
Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, yang menurut pihak berwenang Israel menewaskan 1.200 orang, dan menculik sekitar 240 orang. Serangan mematikan ini telah mengguncang masyarakat Israel dan memecah belah pendapat mengenai jalan yang benar ke depan.