TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri angkat bicara soal ratusan pengungsi etnis Rohingya yang tiba dari Myanmar di tepi pantai Aceh pada Selasa, 14 November 2023. Kemlu mengatakan Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi.
Juru Bicara Kemlu Lalu Muhammad Iqbal menegaskan bahwa Indonesia bukan merupakan pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, yang mewajibkan negara-negara yang telah meratifikasinya untuk melindungi pengungsi yang berada di wilayahnya sesuai dengan ketentuan Konvensi. Sebanyak 146 negara menjadi pihak dalam Konvensi dan 147 merupakan pihak dalam Protokol.
“Yang jelas Indonesia bukan Pihak pada Konvensi Pengungsi 1951. Karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut,” ujarnya dalam pesan singkat pada Kamis, 16 November 2023.
Hampir 200 orang pengungsi Rohingya, mayoritas perempuan dan anak-anak, tiba dengan perahu di provinsi Aceh pada Selasa dengan perahu besar, kata kepala komunitas nelayan setempat. Ratusan orang tersebut terdampar di Pantai Kemukiman Kalee, Gampong Batee, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.
Panglima Laot Aceh Miftach Tjut Adek merincikan jumlah total pengungsi yaitu 196 orang, yang terdiri dari 61 pria, 69 perempuan, 27 anak perempuan, 32 anak laki-laki, dan tujuh orang lainnya melarikan diri.
Selama bertahun-tahun, banyak anggota etnis muslim Rohingya, sebagai kelompok minoritas yang ditindas di Myanmar, melarikan diri di atas perahu kayu reyot ke Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan Thailand yang mayoritas penduduknya muslim.
Beberapa ratus orang Rohingya juga tiba di Aceh pada awal tahun ini, dengan sejumlah besar dari mereka meninggal di laut karena penyakit, kelaparan, dan kelelahan. Tahun 2022 menjadi salah satu tahun paling mematikan dalam satu dekade bagi para pengungsi, kata badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR).
Iqbal mengatakan bahwa penampungan yang selama ini diberikan kepada pengungsi semata-mata karena alasan kemanusiaan. “Ironisnya, banyak negara pihak pada Konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” ujarnya.
Dari penanganan selama ini, ia mengungkapkan bahwa penampungan yang dilakukan Indonesia banyak dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial dari para pengungsi. Para penyelundup, katanya, tidak peduli risiko tinggi yang dihadapi para pengungsi, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. “Bahkan banyak di antara mereka terindentifikasi korban TPPO,” ungkapnya.
NABIILA AZZAHRA A. | ANTARA
Pilihan editor: AS Bantu Rohingya Rp1,78 T, Menlu Retno Usulkan 2 Cara Atasi Masalah Mereka