TEMPO.CO, Jakarta - Antisemitisme tiba-tiba merebak seiring dengan kenekatan Israel membungihanguskan Gaza dengan dalih membalas tindakan Hamas, yang menyerang wilayah mereka pada 7 Oktober 2023. Lebih dari tiga pekan mereka menggempur kawassan sipil Gaza, yang menyebabkan 8 ribu oran tewas dan ribuan lainnya luka-luka.
Di Los Angeles, misalnya. Seorang pria berteriak "bunuh orang Yahudi" dan mencoba masuk ke rumah sebuah keluarga. Di London, anak-anak perempuan di taman bermain diberitahu bahwa mereka adalah "Yahudi busuk" dan harus menghindari perosotan. Di Cina, unggahan yang menyamakan orang Yahudi dengan parasit, vampir, atau ular menjamur di media sosial, menarik ribuan “suka”.
“Ini adalah saat yang paling menakutkan untuk menjadi orang Yahudi sejak Perang Dunia Kedua. Kita pernah menghadapi masalah sebelumnya, namun keadaan tidak pernah seburuk ini dalam hidup saya,” kata Anthony Adler, 62 tahun, berbicara di luar sinagoga tempat dia berdoa di Golders Green, lingkungan dengan komunitas Yahudi yang besar di London.
Adler, yang mengelola tiga sekolah Yahudi, menutup sementara dua sekolah tersebut setelah 7 Oktober karena kekhawatiran akan serangan terhadap murid-muridnya, dan telah meningkatkan keamanan di ketiga sekolah tersebut.
“Ketakutan terbesar adalah akan terjadi serangan acak terhadap komunitas kami, keluarga kami, dan anak-anak kami,” katanya.
Di negara-negara yang datanya diperoleh dari polisi atau kelompok masyarakat sipil, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Afrika Selatan, polanya jelas: jumlah insiden antisemitisme telah meningkat sejak 7 Oktober sebesar beberapa ratus persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, insiden Islamofobia juga meningkat sejak 7 Oktober.
Dalam kasus insiden antisemitisme, sebagian besar berupa pelecehan verbal, hinaan atau ancaman online, grafiti, dan perusakan properti, bisnis, atau situs keagamaan Yahudi. Serangan fisik mewakili proporsi yang signifikan.
Salah satu benang merahnya adalah bahwa kemarahan atas kematian ribuan warga Palestina akibat pemboman Israel di Gaza dijadikan sebagai pembenaran atas agresi verbal atau fisik terhadap orang-orang Yahudi pada umumnya, yang seringkali disertai dengan penggunaan hinaan dan kiasan yang berakar pada sejarah panjang Israel.
“Apa pun pendapat mereka mengenai konflik tersebut, bahkan jika mereka sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel, bagi mereka Yahudi setara dengan Israel, sama dengan membunuh anak-anak Palestina,” kata ilmuwan politik Nonna Mayer, anggota komisi hak asasi manusia Prancis (CNCDH). Dia menggambarkan apa yang ada dalam pikiran orang-orang di balik insiden antisemit.
Iklim ketakutan lebih buruk bagi banyak orang Yahudi dibandingkan dengan peningkatan antisemitisme sebelumnya terkait dengan meningkatnya kekerasan di Timur Tengah, sebagian karena intensitas konflik Gaza dan sebagian lagi karena trauma yang terjadi pada 7 Oktober.
“Gagasan bahwa Israel adalah tempat perlindungan terakhir, gagasan itu hancur total oleh apa yang terjadi pada 7 Oktober,” kata Mayer.
Insiden antisemit yang paling mengerikan secara global adalah penyerbuan sebuah bandara di wilayah Dagestan Rusia pada hari Minggu oleh massa yang marah dan mencari orang-orang Yahudi untuk dicelakai setelah sebuah penerbangan tiba dari Tel Aviv.
Rabi Alexander Boroda, presiden Federasi Komunitas Yahudi Rusia, mengatakan bahwa sentimen anti-Israel telah berubah menjadi agresi terbuka terhadap orang-orang Yahudi Rusia.
Shneor Segal, kepala rabbi Ashkenazi di Azerbaijan, mengatakan insiden itu menunjukkan bahwa “antisemit akan menggunakan alasan apa pun – krisis Timur Tengah saat ini adalah yang terbaru – untuk meneror kami yang jumlahnya semakin berkurang” di Kaukasus.
“Dan menurut mereka ke mana mereka akan mengusir orang-orang Yahudi ini? Negara yang keberadaannya sangat dibenci oleh mereka!” katanya, mengacu pada Israel.
Namun tanpa mencapai titik ekstrem seperti itu, serangkaian insiden di seluruh dunia menunjukkan ketakutan dan ketegangan yang menimpa komunitas Yahudi.
Di Buenos Aires, siswa di sekolah Yahudi terkenal diminta untuk tidak mengenakan seragam biasa agar tidak mudah dikenali, kata orang tua. Sekolah-sekolah lain membatalkan rencana perjalanan berkemah dan kegiatan di luar lingkungan mereka.
Di Universitas Cornell di bagian utara New York, keamanan ditingkatkan di sekitar Center for Jewish Living setelah adanya ancaman online, termasuk seruan agar pusat tersebut dibom.
Di Johannesburg, pengunjuk rasa pro-Palestina berbaris ke suatu daerah dengan komunitas Yahudi yang besar pada hari Sabtu, merobek foto-foto sandera Israel di Gaza dari tembok pembatas pusat komunitas sementara kebaktian Shabbat diadakan di sinagoga terdekat.
“Saya merasa marah terhadap orang-orang yang mencoba membatasi kebebasan beragama dan kebebasan bergerak saya, sebagian besar karena antisemitisme mereka,” kata Akiva Carr, yang berada di sinagoga saat insiden tersebut terjadi.
Tanggapan resmi terhadap lonjakan antisemitisme bervariasi dari satu negara ke negara lain.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, pihak berwenang dengan cepat menyatakan dukungan kuat terhadap komunitas Yahudi, mengecam antisemitisme, dan dalam beberapa kasus memperkuat keamanan di lokasi-lokasi terkait.
Di Israel, pemerintah mengatakan setelah insiden Dagestan bahwa warga Israel harus “meninjau kembali perlunya bepergian ke luar negeri saat ini” dan mendesak warga Israel yang tinggal di luar negeri untuk waspada dan menghindari demonstrasi.
Di Cina, dimana pemerintahnya secara rutin menyensor kata atau frasa yang dianggap sensitif di media sosial, tidak ada indikasi bahwa pemerintah telah mengambil langkah apa pun untuk mengurangi aliran fitnah antisemitisme di media sosial.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan hukum melarang penggunaan internet untuk menyebarkan ekstremisme, kebencian etnis, atau diskriminasi.
REUTERS
Pilihan Editor Mengenal Putri Leonor, Remaja 18 tahun Pewaris Takhta Kerajaan Spanyol