TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis foto Reuters Issam Abdallah yang tewas saat meliput baku tembak antara Israel dan milisi Hizbullah Lebanon di perbatasan kedua wilayah sengaja ditembak dari arah Israel, menurut hasil investigasi awal organisasi Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Sans Frontières (RSF) yang diumumkan pada Ahad, 29 Oktober 2023.
“Berdasarkan analisis balistik yang dilakukan RSF, tembakan datang dari arah timur tempat wartawan berdiri; dari arah perbatasan Israel,” kata RSF.
Organisasi pers tersebut merilis video rekonstruksi tragedi yang mengakibatkan tewasnya Abdallah dan melukai beberapa lainnya. Temuan awal penyelidikan menunjukkan bahwa Abdallah dan enam jurnalis yang sedang meliput bersamanya bukanlah korban tak disengaja dalam penembakan, melainkan salah satu kendaraan mereka yang bertanda “pers” memang menjadi sasaran.
Pada Jumat, 13 Oktober 2023 di perbatasan Israel-Lebanon, dua serangan dengan intensitas berbeda, selang waktu sekitar tiga puluh detik, menghantam tepat di tempat tujuh jurnalis berdiri. Serangan pertama merenggut nyawa Abdallah dan membuat koresponden Agence France-Presse (AFP) Christina Assi luka berat, sedangkan serangan kedua meledakkan kendaraan Al Jazeera, melukai beberapa rekan mereka.
Pasukan militer Israel, yang langsung disalahkan oleh berbagai saksi atas serangan tersebut, segera menyampaikan permintaan maaf dan mengatakan pihak mereka “sedang menyelidikinya”. Tentara dan pemerintah Lebanon juga menyalahkan Israel; sumber militer Lebanon mengatakan kepada Reuters bahwa klaim itu didukung oleh penilaian teknis di lapangan yang dilakukan setelah serangan tersebut.
Sepekan setelah kejadian, RSF merekonstruksi apa yang mungkin terjadi antara pukul 16.45 waktu setempat, saat gambar pertama dikumpulkan, dan sekitar pukul 18.00, saat meninggalnya Abdallah di usia 37 tahun di Alma el-Chaab, Lebanon selatan. Sumbernya mencakup video yang direkam pada saat tragedi tersebut terjadi dan analis balistik yang dibiayai oleh RSF.
Dua serangan di tempat yang sama dalam waktu yang singkat (hanya sedikit melebihi 30 detik) dari arah yang sama, jelas menunjukkan sasaran yang akurat, kata RSF dalam kesimpulan investigasinya.
“Kecil kemungkinan bahwa para jurnalis dengan keliru disangka kombatan, terutama karena mereka tidak bersembunyi: agar dapat memperoleh pandangan yang jelas, mereka telah berada di tempat terbuka selama lebih dari satu jam, di puncak bukit,” ujar RSF.
Para jurnalis mengenakan helm dan rompi anti peluru bertanda “pers”. Mobil mereka juga diidentifikasi sebagai “pers” berkat tanda di atapnya, menurut para saksi.
Salah satu jurnalis Al Jazeera yang diwawancarai RSF mengatakan sekitar pukul 16.45 di hari kejadian, ia melihat sebuah helikopter Israel terbang di atas wilayah tersebut, dengan pandangan jelas terhadap para jurnalis. Oleh karena itu, katanya, para wartawan diidentifikasi di daerah tersebut oleh pasukan yang hadir sebelum pengeboman.
Sebuah helikopter Apache Israel terbang di atas lokasi kejadian beberapa detik sebelum tragedi tersebut, menurut Edmond Sassine, jurnalis stasiun televisi Lebanon LBCI, yang ditempatkan sekitar seratus meter dari rekan-rekannya dari Reuters, Al Jazeera, dan AFP.
Lima hari sebelumnya, pada 9 Oktober, beberapa jurnalis Al Jazeera mengalami serangan serupa di desa Dhayra di Lebanon selatan. Menurut kesaksian mereka, sebuah helikopter Israel terbang di atas mereka sebelum sebuah rudal – dengan model yang sama seperti yang digunakan pada kejadian 13 Oktober – jatuh di sebelah mobil mereka yang bertuliskan “pers”.