TEMPO.CO, Jakarta - Warga Australia bersiap untuk menolak hak dan pengakuan yang lebih besar bagi masyarakat adat pada Sabtu 14 Oktober 2023.
Jajak pendapat sebelum referendum mengungkap perpecahan mendalam antara mayoritas warga kulit putih di negara tersebut dan keturunan penduduk pertama di Benua Kanguru.
Pemungutan suara dibuka di pantai timur yang padat penduduknya pada Sabtu pukul 8 pagi, dengan lebih dari 7.000 tempat pemungutan suara di seluruh negeri.
Hampir 18 juta warga Australia akan memberikan suara mereka untuk mendukung atau menentang perubahan konstitusi untuk mengakui masyarakat adat untuk pertama kalinya.
Referendum ini juga akan membentuk badan penasihat – Suara Adat – untuk mempertimbangkan undang-undang yang berdampak pada masyarakat adat.
Jajak pendapat memberikan sedikit harapan bagi reformasi, dimana survei baru-baru ini menunjukkan bahwa kubu “ya” hanya memperoleh 40 persen suara dan kubu “tidak” memperoleh hampir 60 persen.
Penduduk asli Australia, yang nenek moyangnya telah tinggal di benua ini selama lebih dari 60.000 tahun, hanya berjumlah 3,8 persen dari total populasi. Mereka berada di pihak yang kalah akibat kesenjangan sejak warga kulit putih tiba lebih dari 200 tahun lalu.
Penduduk Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres lebih besar kemungkinannya untuk sakit, dipenjara, atau meninggal dalam usia muda dibandingkan penduduk kulit putih yang lebih kaya.
Para pendukung referendum mengatakan reformasi ini akan membantu mengatasi kesenjangan.
Kampanye oposisi telah memperbesar kekhawatiran mengenai peran dan efektivitas majelis "Suara", sehingga mendorong para pemilih untuk memilih "tidak" jika mereka tidak yakin.
Jajak pendapat secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar warga Australia tidak begitu peduli terhadap permasalahan masyarakat adat dan menempatkan isu tersebut di peringkat bawah dalam daftar prioritas publik.
Pada hari-hari sebelum pemungutan suara, perhatian media terfokus pada peristiwa-peristiwa di Timur Tengah dan juga perdebatan politik di dalam negeri.