TEMPO.CO, Jakarta - Pencitraan kritikus oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol sebagai "kekuatan totaliter komunis dan anti-negara" mungkin akan menggalang basis konservatifnya dan mengalihkan perhatian dari kegelisahan mengenai beberapa kebijakannya, namun berisiko memicu perpecahan dan mengasingkan sebagian pemilih.
Di Korea Selatan, label komunis memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan di banyak negara demokrasi Barat, mengingat ancaman yang terus berlanjut dari undang-undang Korea Utara yang terkesan komunis dan era Perang Dingin yang secara efektif melarang aktivitas yang dianggap berkaitan dengan komunisme.
Pernyataan Yoon dan perdebatan publik yang baru mengenai komunisme terjadi seiring dengan merosotnya tingkat persetujuan terhadap dirinya dan meningkatnya ketegangan politik menjelang pemilihan umum pada April.
Hal ini juga terjadi pada saat adanya perubahan nyata dalam kebijakan luar negeri Seoul ketika Yoon mendorong kerja sama trilateral dengan AS dan Jepang meskipun masih ada kegelisahan masyarakat terhadap Tokyo mengenai masalah sejarah, kata Kevin Gray, seorang profesor di Universitas Sussex.
“Ada masalah legitimasi bagi Yoon dalam arti kesenjangan antara opini populer di Korea Selatan dan apa yang dikejar secara internasional semakin meningkat,” kata Gray.
“Dia telah memutuskan untuk mengambil pendekatan bukan untuk mencoba meyakinkan masyarakat tetapi untuk memberi label pada oposisi sebagai kekuatan totaliter komunis yang anti-negara.”
Dalam pidatonya awal bulan ini, Yoon mengatakan kebebasan Korea Selatan “berada di bawah ancaman terus-menerus” dari “kekuatan totaliter komunis dan anti-negara” yang kritis terhadap semakin dalamnya hubungan Korea Selatan dengan AS dan Jepang.
“Kekuatan totalitarianisme komunis telah menyamar sebagai aktivis demokrasi, pembela hak asasi manusia, dan aktivis progresif,” kata Yoon dalam pidatonya yang lain pada Hari Kemerdekaan bulan lalu.
Partai oposisi liberal, yang mengendalikan Majelis Nasional namun berantakan di tengah tuduhan korupsi terhadap pemimpinnya, mengkritik Yoon karena menyia-nyiakan masa jabatannya pada “perang ideologi” yang memperdalam perpecahan politik dan tidak melakukan apa pun untuk mengatasi masalah nyata.
“Presiden terus menekankan ancaman dari kekuatan komunis yang sebenarnya tidak ada,” kata juru bicara Partai Demokrat dalam sebuah pengarahan pekan lalu.
Kantor kepresidenan belum memberikan komentar mengenai deskripsi Yoon yang mengkritik kebijakannya sebagai “komunis”.