TEMPO.CO, Jakarta – Para pemimpin perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara akan bertemu selama tiga hari di Jakarta, mulai Selasa hingga Kamis, 5 - 7 September 2023. KTT ASEAN edisi kali ini akan menjadi ujian untuk persatuan blok, di tengah tantangan yang mengganggu sejumlah negara anggota seperti sengketa Laut Cina Selatan dan krisis internal Myanmar.
“ASEAN tidak pernah punya posisi solid terkait isu Laut Cina Selatan.. Mestinya ASEAN punya posisi yang sedikit lebih kuat,” kata dosen hubungan internasional dari Universitas Queensland Ahmad Rizky Umar saat dihubungi oleh Tempo pada Senin, 4 September 2023.
Sikap tegas ASEAN soal Laut Cina Selatan, menurut Rizky Umar, perlu ditunjukkan secara kolektif, menyusul dirilisnya peta standar yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina pada pekan lalu. Peta terbaru Cina yang terkenal berbentuk U itu menutupi sekitar 90 persen Laut Cina Selatan.
Sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam telah menyampaikan protes terkait dengan peta baru Cina tersebut. Beijing berharap setiap pihak tidak berlebihan dalam menafsirkan peta baru negaranya.
Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto Suryodipuro menyatakan tidak ada agenda khusus membahas Laut Cina Selatan dalam Pertemuan Diplomat Senior ASEAN pada Minggu malam, 3 September 2023. “Tetapi Indonesia sebagai ketua, kita memahami bahwa ada anggota ASEAN yang akan mengangkatnya pada tingkat yang lebih tinggi,” kata Sidharto dalam konferensi pers di Jakarta setelah rapat tersebut.
Sejauh ini, belum ada pernyataan dari ASEAN yang mencerminkan sikap soal perkembangan terbaru yang terjadi berkaitan dengan Laut Cina Selatan. Tanpa merujuk spesifik ke satu isu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pembukaan pertemuan menteri luar negeri ASEAN pada Senin, 4 September 2023, hanya menyinggung, “kita semua menyadari banyaknya keadaan sulit di kawasan ini.”
Usai rapat kerja bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2023. Retno berkomentar mengenai peta baru Cina. Menurutnya penarikan garis wilayah apa pun harus sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982.
Retno juga menyebut bahwa hal tersebut merupakan sikap yang selalu konsisten dipegang Indonesia dalam hal kedaulatan wilayah. "Posisi Indonesia ini bukan posisi yang baru, tetapi posisi yang selalu disampaikan secara konsisten," ucapnya.
Menurut Rizky Umar, persatuan blok dalam mengatasi isu Laut Cina Selatan ini akan tercermin jika keprihatinan soal peta baru Cina yang membuat resah sejumlah anggota ini masuk dalam pernyataan bersama dan efisiensi negosiasi kode etik perairan penuh konflik tersebut bersama Beijing.
Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini telah mendorong percepatan negosiasi code of conduct atau kode etik di Laut Cina Selatan bersama Cina. Pedoman merangkum aspirasi ASEAN dan Cina untuk selesaikan kode etik dalam 3 tahun atau kurang, melalui pembahasan secara intensif isu-isu tertunda.
“Apakah hasilnya akan berpihak pada ASEAN atau terus tertunda seperti yang sudah terjadi,” kata Rizky Umar menambahkan.