TEMPO.CO, Jakarta - Warga Singapura akan menuju tempat pemungutan suara dalam pemilihan presiden pertama di negara kota tersebut dalam 12 tahun terakhir. Pemungutan suara ini diawasi dengan ketat sebagai indikasi dukungan terhadap partai yang berkuasa setelah serangkaian skandal politik yang jarang terjadi.
Para pengamat mengatakan hasil pemungutan suara pada Jumat, 1 September 2023 dapat menunjukkan tingkat dukungan terhadap Partai Aksi Rakyat (PAP) yang berkuasa menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan pada 2025. Serangkaian skandal mengguncang Singapura beberapa waktu lalu mulai dari kasus korupsi yang menjerat menteri hingga tuduhan perselingkuhan.
“Pemilihan presiden semakin diperlakukan sebagai pemilu,” ujar Mustafa Izzuddin, analis politik di konsultan Solaris Strategies Singapura. “Peningkatan pemungutan suara protes diperkirakan terjadi karena sentimen yang bimbang terhadap pemerintah yang berkuasa,” kata Izzuddin.
PAP mengalami kinerja pemilu terburuk pada 2020 namun tetap berhasil mempertahankan lebih dari dua pertiga suaranya. Pemerintahan negara kota ini dijalankan oleh perdana menteri, yang saat ini dijabat oleh Lee Hsien Loong dari PAP. Partai PAP terus memerintah Singapura sejak 1959.
Meskipun jabatan kepresidenan sebagian besar merupakan jabatan seremonial dan non-partisan berdasarkan konstitusi, garis politik sudah ditentukan menjelang pemilu untuk menggantikan petahana Halimah Yacob, yang mencalonkan diri untuk masa jabatan enam tahunnya pada 2017 tanpa ada lawan.
Pemilu di Singapura biasanya merupakan hal yang mudah diprediksi, namun kali ini menarik di tengah skandal yang terjadi terhadap politisi PAP. Sehingga ada kemungkinan pemilih mengalihkan suara dari partai berkuasa.
“Partai yang berkuasa telah berkuasa sejak tahun 1959. Namun dengan generasi pemilih baru yang datang ke kotak suara, ada kemungkinan bahwa pemilihan presiden kali ini akan mengalami hal yang sangat langka, yaitu pemungutan suara protes,” kata Cheng.
Kandidat terdepan dalam pemilu ini adalah mantan wakil perdana menteri dan menteri keuangan Tharman Shanmugaratnam, yang sudah lama menjadi pendukung PAP sebelum ia mengundurkan diri menjelang pencalonannya. Ekonom berusia 66 tahun ini secara luas dianggap mendapat dukungan pemerintah.
Kandidat lainnya, mantan eksekutif asuransi Tan Kin Lian, 75, mendapat dukungan dari beberapa pemimpin oposisi, dan kandidat, Ng Kok Song, 75, adalah mantan kepala investasi di dana kekayaan negara GIC Singapura, yang mengelola cadangan devisa negara.
Singapura mewajibkan calon presiden untuk menjabat sebagai pegawai negeri senior atau kepala eksekutif sebuah perusahaan dengan ekuitas pemegang saham setidaknya 500 juta dolar Singapura ($370 juta). Alasannya presiden secara resmi mengawasi akumulasi cadangan keuangan kota dan memegang kekuasaan untuk memveto tindakan tertentu dan menyetujui penyelidikan antikorupsi.
AL JAZEERA
Pilihan Editor: Dua bom Mobil Meledak di Ibu Kota Ekuador, Polisi Disandera Narapidana