TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan penembakan terhadap seorang remaja berusia 17 tahun oleh polisi hingga tewas di sebuah perhentian lalu lintas di dekat Paris sebagai "tidak dapat dimaafkan". Tewasnya keturunan anak muda keturunan Aljazair itu memicu kerusuhan di sejumlah kota, Rabu, 28 Juni 2023.
Seorang petugas polisi sedang diperiksa atas dugaan melakukan penembakan dalam kondisi tidak terancam. Menurut jaksa, pemuda itu tidak mau menghentikan mobilnya ketika akan diperiksa dalam insiden Senin pagi, 26 Juni 2023.
Kementerian Dalam Negeri menyerukan masyarakat Prancis menahan diri. Pihak berwenang sejauh ini telah menangkap 31 orang dalam kerusuhan Selasa malam, terutama di Nanterre, pinggiran Paris tempat korban tinggal. Sejumlah pemuda membakar mobil dan melemparkan petasan ke arah polisi, yang membalasnya dengan gas air mata.
"Seorang remaja terbunuh, itu tidak dapat dijelaskan dan dimaafkan," kata Macron kepada wartawan di Marseille.
"Tidak ada yang membenarkan kematian seorang pemuda," katanya, sebelum meminta pengadilan untuk melakukan tugasnya.
Sebuah video yang dibagikan di media sosial menunjukkan dua petugas polisi di samping mobil, sebuah Mercedes AMG, dengan satu orang menembak pengemudi saat mobil itu menjauh. Korban kemudian meninggal karena luka-lukanya, kata jaksa setempat.
Pesepakbola Paris Saint-Germain Kylian Mpabbe dalam Tweet tentang penembakan itu mengatakan: "Saya terluka untuk Prancis saya."
Korban berasal dari keluarga Aljazair dan nama depannya adalah Nahel, kata seorang tetangga dan kenalan keluarga tersebut.
Dalam sebuah video yang dibagikan di TikTok, seorang wanita yang diidentifikasi sebagai ibu korban menyerukan pawai peringatan di Nanterre pada hari Kamis. "Semua orang harap datang, kita akan melakukan pemberontakan untuk anakku," katanya.
Insiden pada Selasa itu merupakan penembakan fatal kedua selama perhentian lalu lintas di Prancis sejauh ini pada 2023, turun dari rekor 13 tahun lalu, menurut penghitungan Reuters berdasarkan laporan polisi dan jaksa serta dokumen dari pengacara.
Ada tiga penembakan seperti itu pada 2021 dan dua pada tahun 2020, menurut penghitungan, yang menunjukkan mayoritas korban adalah orang kulit hitam atau keturunan Arab. Kementerian Dalam Negeri dan polisi tidak segera menanggapi permintaan untuk mengonfirmasi penghitungan tersebut.
Ombudsman hak asasi manusia Prancis telah membuka penyelidikan atas kematian tersebut, penyelidikan keenam atas insiden serupa pada tahun 2022 dan 2023.
Pernyataan Macron seperti itu sangat jarang di negara di mana politisi senior sering enggan mengkritik polisi karena masalah keamanan pemilih.
Dia menghadapi kritik dari saingan yang menuduhnya bersikap lunak terhadap pengedar narkoba dan penjahat kecil dan telah menerapkan kebijakan untuk membatasi kejahatan perkotaan, termasuk otoritas yang lebih besar bagi polisi untuk mengeluarkan denda.
Kelompok hak asasi menuduh rasisme sistemik di dalam lembaga penegak hukum di Prancis. Macron sebelumnya telah membantahnya.
Setelah kerusuhan semalam, kementerian dalam negeri mengatakan 2.000 polisi dikerahkan di wilayah Paris.
Jalanan Nanterre tenang pada Rabu pagi dan Fatima, seorang warga, berharap tidak akan ada lagi kekerasan.
"Memberontak seperti yang kita lakukan kemarin tidak akan mengubah banyak hal, kita perlu berdiskusi dan berbicara," katanya.
REUTERS
Pilihan Editor Polisi Swedia Izinkan Lagi Demo Bakar Al-Quran