TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah rekor 110 juta orang di seluruh dunia telah dipindahkan secara paksa dari rumah mereka, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu 14 Juni 2023. Ini merupakan jumlah tertinggi sejak 1975, saat pencatatan pengungsi global dimulai.
Perang Rusia di Ukraina, pengungsi yang melarikan diri dari Afghanistan dan pertempuran di Sudan telah mendorong jumlah total pengungsi yang terpaksa mencari perlindungan di luar negeri, dan mereka yang terlantar di negara mereka sendiri, ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kata UNHCR, badan pengungsi PBB.
Pada akhir tahun lalu, 108,4 juta orang mengungsi, kata UNHCR dalam laporan tahunan, Global Trends in Forced Displacement.
Jumlahnya naik 19,1 juta dari akhir tahun 2021 – peningkatan terbesar sejak pencatatan dimulai pada 1975.
Sejak saat itu, meletusnya konflik di Sudan telah memicu pengungsian lebih lanjut, mendorong total pengungsian global menjadi sekitar 110 juta orang pada Mei.
"Kami memiliki 110 juta orang yang melarikan diri karena konflik, persekusi, diskriminasi dan kekerasan, seringkali dicampur dengan motif lain – khususnya dampak perubahan iklim," kata kepala UNHCR Filippo Grandi dalam konferensi pers di Jenewa.
"Ini kenyataan menyedihkan bagi dunia kita," katanya.
Angka Kemungkinan akan Bertambah
Dari total global tahun 2022, sebanyak 35,3 juta adalah pengungsi yang melarikan diri ke luar negeri, dengan 62,5 juta mengungsi di dalam negeri. Ada 5,4 juta pencari suaka dan 5,2 juta orang lainnya – kebanyakan dari Venezuela – membutuhkan perlindungan internasional.
"Kekhawatiran saya adalah angkanya kemungkinan akan bertambah lagi," kata Grandi.
Dia mengatakan perpindahan yang membengkak tahun ini semakin dihadapkan dengan "lingkungan yang lebih tidak bersahabat, terutama ketika menyangkut pengungsi, hampir di mana-mana".
"Kepemimpinan adalah tentang meyakinkan opini publik Anda bahwa ada orang yang pantas mendapatkan perlindungan internasional," katanya.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mencatat bahwa sekitar 76 persen pengungsi melarikan diri ke negara berpenghasilan rendah dan menengah, sementara 70 persen tetap tinggal di negara tetangga.