TEMPO.CO, Jakarta - ASEAN dianggap tidak terlalu peka akan dinamika global yang bisa berpengaruh terhadap kawasan karena memiliki keterbatasan institusional. ASEAN dinilai perlu berbenah jika ingin bisa menjawab tantangan mendatang, seperti potensi konflik terbuka Amerika Serikat dan Cina di Indo-Pasifik.
Dalam diskusi yang digelar di Jakarta pada Senin, 15 Mei 2023, untuk meninjau ulang hasil KTT ASEAN di Labuan Bajo pekan lalu, sejumlah peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai ASEAN belum memiliki mekanisme yang jelas untuk menghadapi cairnya keadaan ekonomi hingga politik-keamanan global saat ini.
Peneliti dari Departemen Internasional CSIS Andrew Mantong mengatakan ada kekakuan saat negara-negara anggota bertahan pada prinsip non-intervensi hingga kedaulatan yang tertuang dalam ASEAN Charter. Contoh yang paling baik adalah dalam menangani Myanmar – ASEAN tidak memiliki manajemen krisis, sehingga membuat proses yang pada akhirnya menghasilkan konsensus lima butir.
"Tidak ada lini masa, rencana seperti apa, dan tidak ada keinginan ASEAN berubah, " kata Andrew saat disinggung soal rapat tingkat tinggi yang minim metode bagaimana mengatasi tantangan mendatang. Dia mencatat solusinya adalah merevisi piagam, walau sulit diwujudkan sebab keterbelahan di dalam lembaga akan terekspos.
ASEAN di bawah keketuaan Indonesia saat ini mendorong penguatan kelembagaan, hingga pembangunan komunitas paska-2025. KTT ASEAN pekan lalu membuahkan sejumlah deklarasi seperti perlindungan pekerja migran, perang terhadap TPPO, ekosistem mobil listrik, hingga penggunaan mata uang lokal dan konektivitas.
Kepala bidang Ekonomi CSIS Fajar B. Hirawan menilai hasil KTT ASEAN kemarin masih belum fokus pada yang mendesak dan (yang perlu dilakukan) langsung. ASEAN seharusnya bisa melihat yang hal mendesak, seperti strategi regional apa yang dapat dilakukan paska-pandemi.
"Harusnya ada sektor kritis dan strategis, contohnya ketahanan pangan, dan itu yang belum bisa disampaikan," katanya.
Sementara Kepala Departemen Internasional CSIS Lina Alexandra menilai, ASEAN perlu mengembalikan semangat kerja sama multilateral untuk bisa menavigasi ketegangan di Indo-Pacific yang bersifat unilateral, seperti antara Amerika Serikat dan Cina. Peron yang dimiliki, ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP), dinilai hanya terbatas pada kerja sama ekonomi walau tantangan yang ada justru lebih dari itu.
Ketegangan hubungan diplomatik di antara Amerika Serikat dan Cina dalam beberapa tahun ini menyeret potensi konflik ke kawasan. Sikap kedua negara soal Taiwan jadi pembeda besar. Washington curiga soal dukungan Beijing ke Rusia, yang tengah melancarkan invasi ke Ukraina. Klaim suport itu dibantah Cina.
Laut Cina Selatan sudah beberapa puluh tahun menjadi ladang konflik di antara Cina dan sejumlah negara Asia tenggara. ASEAN dan Cina memulai perundingan baru Code of Conduct (CoC), semacam pedoman etik Laut Cina Selatan.
Lina mendorong revitalisasi ASEAN-led platform yang bisa mempersatukan kekuatan besar dan menengah seperti East Asia Summit, namun dengan rencana yang jelas. "Untuk bisa mendorong interaksi yang peaceful, impartial," katanya.
Dandy Rafitrandi, Peneliti di CSIS sepakat kalau AOIP itu tidak ada mengenali dinamika global yang saat ini sedang tinggi dan dinamis. Dia mendorong supaya AIOP ini bisa diperbaharui sampai diperluas, supaya bisa menjadi perangkat tukar-menukar kekuatan ASEAN di tengah kekuatan ekonomi global seperti Amerika Serikat dan Cina. Pasalnya, jika Amerika Serikat atau Uni Eropa decoupling atau derisking Cina, maka itu akan memiliki dampak terhadap perekonomian ASEAN baik secara langsung atau tidak mengingat Beijing merupakan mitra regional terpenting secara ekonomi.
Tantangan Selesaikan Krisis Myanmar
Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo saat menutup KTT ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis, 11 Mei 2023, menegaskan ASEAN tetap bersatu dalam menyelesaikan krisis di Myanmar dan tetap mendorong implementasi konsensus yang telah disepakati ASEAN.
Yang dimaksud Jokowi adalah solusi damai yang dikenal Five Point Consensus, mencakup dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar.
Kelompok sipil berulang kali melihat konsensus itu telah gagal. Sementara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, saat diwawancara eksklusif oleh Tempo di Labuan Bajo pada Selasa, 9 Mei 2023, menekankan ASEAN perlu meninjau pendekatannya secara mendasar bahkan lebih jauh sebelum konsensus itu disepakati.
Lina Alexandra, saat pengarahan media Senin, memberikan poin bahwa KTT Labuan Bajo kemarin masih menunjukkan ASEAN masih terpecah-pecah dalam mengatasi masalah Myanmar. Minimnya pelaksanaan konsensus dalam tiga memasuki empat keketuaan adalah hal yang tidak masuk akal, katanya, sambil mencatat Indonesia perlu meninjau ulang pendekatan diplomasi senyapnya.
Myanmar dilanda kekerasan dan gejolak ekonomi sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 2021. Tatmadaw melancarkan tindakan keras terhadap lawan, beberapa di antaranya melarikan diri ke luar negeri untuk membentuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).
Insiden tembak-menembak terjadi di kotapraja Hseng di Negara Bagian Shan di Myanmar, saat rombongan membawa diplomat Indonesia dan Singapura bersama lembaga kemanusiaan ASEAN (AHA-Center) untuk mengirim bantuan. Chair’s Statement Indonesia mengutuk serangan itu, namun menyebut ASEAN akan terus berlanjut memobilisasi sumber daya tambahan dan memimpin dalam penyediaan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre.
Dengan keketuaan Indonesia yang menyisakan beberapa bulan lagi, Lina mencatat ASEAN perlu membuat rencana implementasi konsensus, yang basisnya bisa disusun dari sejumlah pertemuan dengan pemangku kepentingan di Myanmar. Dia juga menyerukan kembali supaya Indonesia bisa mendorong institusionalisasi kantor utusan khusus menjadi milik ASEAN, bukan hanya setahun keketuaan, supaya Jakarta bisa memimpin melampaui tahun ini.
"Tanpa adanya kemajuan berarti yang dicapai ASEAN, tanpa adanya kemampuan Indonesia untuk menunjukkan leadership di ASEAN, apakah ini artinya ASEAN bergerak ke arah 'self-destruction'?" katanya.
Pilihan Editor : Jokowi: ASEAN Sepakat Perkuat Konektivitas Pembayaran Regional dan Transaksi Mata Uang Lokal Masing-masing Negara
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.