TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok sipil ragu konferensi tingkat tinggi ASEAN pekan depan akan membuahkan terobosan dalam menyelesaikan krisis Myanmar, namun mereka menyarankan blok regional Asia tenggara untuk fokus pada penghentian kekerasan di negara tersebut.
Ketua Progressive Voice Khin Ohmar mengatakan, dalam menangani krisis Myanmar, ASEAN perlu menunjukkan dengan tindakan. Menurutnya, ASEAN yang dipimpin Indonesia tahun ini tertawan secara diplomatik oleh militer Myanmar yang melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil terpilih.
"Saya menyerukan pemimpin ASEAN supaya dalam KTT nanti minimal fokus pada penghentian kekerasan udara (oleh junta). Saya yakin mereka bisa, jika memiliki kehendak politik,” kata Khin dalam pertemuan di Jakarta, Rabu, 3 Mei 2023.
Khin mencatatkan ASEAN bisa meminta bantuan Dewan Keamanan PBB untuk mendesak junta menghentikan kekerasan di Myanmar, kemudian bisa fokus untuk meninjau ulang pendekatannya – konsensus lima poin, dalam menyelesaikan isu ini.
Kekerasan terus berkecamuk di Myanmar setelah Tatmadaw atau militer menggulingkan pemerintah sipil yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dua tahun lalu. ASEAN bereaksi dengan mengeluarkan kesepakatan yang dikenal sebagai five point consensus.
Solusi damai itu mencakup dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar.
Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini memilih pendekatan diplomasi diam-diam dalam menangani krisis Myanmar. Tidak adanya keterbukaan soal penanganan isu ini menjadi pertanyaan publik.
Koordinator ALTSEAN-Burma Debbie Stothard, dalam pertemuan yang sama di Jakarta pada Rabu mengatakan, diplomasi apapun yang tengah berlangsung saat ini tidak berjalan sebab kekerasan di lapangan tidak berhenti. Jangan sampai, KTT ASEAN di Labuan Bajo pada 9-11 Mei 2023, nanti hanya menghasilkan pernyataan positif yang memberikan kesan sesaat dan melupakan krisis yang tengah berlangsung.
"Kami membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar diplomasi. Itu membutuhkan diplomasi yang didukung dengan pengaruh,” kata Debbie, seraya mengingatkan masalah Myanmar ini semacam mempertaruhkan legitimasi ASEAN.
Divisi Advokasi Internasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) menyarankan Indonesia untuk mengundang National Unity Government (NUG) Myanmar supaya mendapatkan sudut pandang sipil dalam menyelesaikan masalah ini.
Sementara Koordinator untuk Advokasi Regional Asia Justice and Right Putri Kanesia mengingatkan pemerintah bahwa kelompok sipil selalu membuka ruang untuk membahas penyelesaian konflik Myanmar.