TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan junta Myanmar diperkirakan akan mendengarkan argumentasi penutup untuk dakwaan terakhir terhadap pemimpin demokrasi yang dipenjara Aung San Suu Kyi pada Senin, 26 Desember 2022. Belum lama ini Dewan Keamanan PBB menyerukan pembebasannya.
Baca: PBB Larang Junta Myanmar dan Taliban Kirim Duta Besarnya
Sumber AFP seperti dikutip dari CNA menyatakan, tim hukum Aung San Suu Kyi dan pengacara junta akan membuat argumen akhir terkait lima dakwaan korupsi yang tersisa pada Senin. Putusan akan diberikan "setelah tahap itu". Adapun tanggalnya belum ditetapkan.
Putusan dalam persidangan Aung San Suu Kyi sebelumnya biasanya datang beberapa hari setelah argumen terakhir. Setiap tuduhan korupsi membawa hukuman penjara maksimum 15 tahun. Dalam kasus korupsi sebelumnya, pengadilan umumnya menghukum Aung San Suu Kyi tiga tahun per dakwaan.
Aung San Suu Kyi telah menjadi tahanan sejak militer menggulingkan pemerintahannya pada Februari 2021. Pengurungan dia mengakhiri periode singkat demokrasi di salah satu negara Asia Tenggara itu.
Peraih Nobel berusia 77 tahun itu telah dinyatakan bersalah atas 14 dakwaan, mulai dari korupsi hingga mengimpor walkie-talkie secara ilegal dan melanggar undang-undang rahasia resmi. Kelompok hak asasi mengecam persidangan itu tidak adil.
Aung San Suu Kyi saat ini dipenjara di sebuah kompleks di ibu kota Naypyidaw. Lokasinya dekat dengan gedung pengadilan tempat persidangannya diadakan. Dia sekarang tanpa ditemani staf rumah tangga dan anjing peliharaannya Taichido.
Sejak kudeta, dia nampak kerap menghilang dari pandangan. Hanya terlihat di foto-foto buram media negara dari ruang sidang yang kosong.
PBB Minta Aung San Suu Kyi Dibebaskan
Pada Rabu lalu, Dewan Keamanan PBB di New York meminta junta untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dalam resolusi pertamanya mengenai situasi di Myanmar sejak kudeta. Resolusi tersebut menandai momen persatuan Dewan relatif setelah anggota tetap dan sekutu junta dekat China dan Rusia abstain dan memilih untuk tidak menggunakan veto setelah amandemen kata-kata.
Myanmar telah terjerumus ke dalam kekacauan sejak kudeta tahun lalu. Beberapa kelompok pemberontak etnis yang mapan memperbaharui pertempuran dengan militer di daerah perbatasan. Sementara keadaan ekonomi mereka compang-camping.
Kelompok HAM menuduh militer melakukan pembunuhan di luar hukum dan melancarkan serangan udara terhadap warga sipil yang merupakan kejahatan perang. Korban tewas sipil terbaru yang dikeluarkan oleh junta mencapai lebih dari 4.000.
Kelompok Pemantau Lokal menyebut lebih dari 2.600 orang tewas dalam tindakan keras militer terhadap perbedaan pendapat. Pemerintah Persatuan Myanmar (NUG) Duwa Lashi La saat wawancara dengan Tempo sekitar akhir bulan lalu menyebutkan angka serupa.
Banyak pihak sipil, termasuk NUG, mengharapkan Indonesia, sebagai ketua ASEAN 2023, membuat kemajuan dalam menyelesaikan krisis di negara tersebut. Pasalnya presidensi Kamboja dianggap belum membuat langkah signifikan.
"Kami percaya situasinya akan berubah dan (Indonesia) akan belajar dari Kamboja. Jika Indonesia bersimpati kepada rakyat dan menghormati keinginan rakyat Myanmar, kita bisa menyelesaikan masalah ini," kata Pemimpin NUG Duwa Lashi La saat wawancara khusus dengan Tempo belum lama ini.
Indonesia sejauh ini ingin berpegang teguh pada konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada April 2021, dengan lima poin yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman Utusan Khusus ke Myanmar.
Peneliti senior bidang Hubungan Internasional dari Centre for International and Strategic Studies (CSIS) Fitri Bintang Timur menilai, walau banyak pihak yang menganggap resolusi DKK PBB ini sebagai langkah awal, Indonesia perlu konsisten mengangkat isu ini ke dalam agenda internasionalnya. Sehingga dialog untuk menyelesaikan konflik akan terus ada.
Ke depannya, menurut Fitri, ASEAN perlu menekankan tindakan yang lebih tegas, apabila jalan diplomasi masih belum membuahkan hasil baik yang signifikan.
"Ini akan memicu munculnya solusi alternatif, termasuk dengan memberikan resolusi yang lebih 'tegas' seperti dengan adanya sanksi ekonomi atau upaya pemberhentian penjualan senjata ke Myanmar, dengan melobi negara yang memiliki pengaruh lebih besar (dan mitra wicara seperti India) untuk dapat menerapkan upaya tegas tersebut," kata Fitri kepada Tempo, Jumat, 23 Desember 2022.
Simak: Presiden NUG Berharap Kepemimpinan Indonesia di ASEAN Selesaikan Krisis Myanmar
CHANNEL NEWS ASIA | DANIEL A. FAJRI