Hasil adopsi resolusi DK PBB mengungkapkan "keprihatinan yang mendalam" pada keadaan darurat yang terus berlanjut oleh militer ketika merebut kekuasaan dan "dampak serius" terhadap rakyat Myanmar.
Pernyataan dalam resolusi itu mendesak "tindakan konkret dan segera" untuk mengimplementasikan rencana perdamaian yang disetujui oleh ASEAN.
DK PBB juga mengeluarkan seruan kepada junta untuk "menjunjung tinggi institusi dan proses demokrasi dan untuk mengejar dialog dan rekonsiliasi yang konstruktif sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat".
Negosiasi rancangan resolusi Dewan Keamanan dimulai pada September 2022. Draf awal resolusi itu mendesak diakhirinya transfer senjata ke Myanmar dan mengancam sanksi, tetapi bahasa itu telah dihapus. Beberapa anggota juga keberatan dengan ketentuan yang meminta Sekjen PBB untuk melapor kepada Dewan mengenai situasi di Myanmar setiap 60 hari.
Sebaliknya, resolusi tersebut meminta sekretaris jenderal atau utusannya untuk melapor kembali paling lambat 15 Maret 2023, dengan berkoordinasi dengan ASEAN. Sebelumnya, pada 2017, China dan Rusia memveto rancangan resolusi terkait krisis etnis Rohingya di Myanmar karena alasan masalah internal.
Fitri mengatakan, keterlibatan PBB dan komunitas internasional dapat menutup lubang dalam prinsip penyelesaian konflik yang menghindari kritik dan campur tangan antar anggota ASEAN pada urusan domestik masing-masing anggotanya.
Adanya PBB juga dapat memicu terciptanya solusi alternatif dimaksud yang lebih tegas, misalnya dengan mengisolasi rezim militer Myanmar dan memberlakukan sanksi terhadapnya.
Namun dia mengingatkan pendekatan ini sendiri banyak didukung oleh negara-negara Barat dan hanya bisa dilakukan oleh negara-negara dengan kemampuan militer dan ekonomi yang kuat.
Indonesia sebagai Ketua ASEAN di 2023 menyambut resolusi Dewan Keamanan PBB tentang situasi di Myanmar.
Jakarta sejauh ini ingin berpegang teguh pada konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada April 2021, dengan lima poin yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman Utusan Khusus ke Myanmar.
Banyak pihak sipil, termasuk Pemerintah Persatuan Myanmar (NUG), mengharapkan Indonesia membuat kemajuan dalam menyelesaikan krisis di negara tersebut. Pasalnya presidensi Kamboja dianggap belum membuat langkah signifikan.
"Kami percaya situasinya akan berubah dan (Indonesia) akan belajar dari Kamboja. Jika Indonesia bersimpati kepada rakyat dan menghormati keinginan rakyat Myanmar, kita bisa menyelesaikan masalah ini," kata Pemimpin NUG Duwa Lashi La saat wawancara khusus dengan Tempo belum lama ini.