TEMPO.CO, Jakarta - Berpacu dengan waktu, sebuah tuk-tuk kuning menjemput Salaeh Mohammed, 9 tahun, dari kamp pengungsi internal dan membawanya ke pusat perawatan kolera di kota Maiduguri, Nigeria timur laut.
Baca: Badai Tropis Nalgae Mendekati Filipina, 31 Orang Tewas
Kendaraan roda tiga itu berhenti di sebuah tenda putih di mana dua petugas kesehatan dengan sepatu bot karet dan celemek pelindung dengan hati-hati mengangkatnya ke atas tandu, di bawah tatapan cemas ibunya, tetapi bocah lelaki yang dehidrasi itu sudah berhenti bernapas.
Mohammed adalah satu dari ratusan korban kolera di negara itu. Pemerintah Nigeria mengumumkan wabah kolera di negara bagian Borno di timur laut pada 14 September lalu setelah ada kasus terkonfirmasi di tujuh daerah. Hujan lebat yang berlangsung berbulan-bulan yang menyebabkan banjir mempercepat penyebarannya.
Pada 5 Oktober lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 5.000 kasus kolera telah tercatat di Borno, termasuk 178 kematian. Sekitar setengah dari kasus terjadi di daerah dengan konsentrasi tinggi orang yang telantar akibat konflik.
Diperkirakan satu juta orang berisiko terkena penyakit usus, yang menyebabkan diare dan muntah parah. Penyakit ini umumnya menyebar melalui air dan makanan yang terkontaminasi, yang menyebabkan dehidrasi dan kematian jika tidak diobati.
Para petugas kesehatan mengatakan genangan besar di Maiduguri, sebuah kota berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa, mempercepat penyebaran bakteri dan membuatnya sulit dibendung.
“Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ini merupakan wabah terbesar,” kata perawat Augusta Chinenye Obodoefuna, manajer pusat perawatan yang dijalankan oleh Dokter Tanpa Batas (MSF) seperti dikutip Reuters pada Jumat, 28 Oktober 2022.
Obodoefuna mengatakan pasien berjumlah dua kali lipat dibandingkan dengan wabah tahun lalu dan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Di pusat perawatan, pasien dengan infus rehidrasi diistirahatkan di atas ranjang kanvas. Orang tua yang khawatir duduk di kursi plastik di samping bayi mereka.
Ali Mohammed, 17 tahun, duduk dengan lemah disandarkan pada tiang infus dengan plester menempel di tangannya. Ibunya, Yagana Mohammed, membawanya ke rumah sakit setelah ia terjaga sepanjang malam karena muntah. Ia mengatakan perjalanan menuju pusat perawatan adalah pengalaman yang menakutkan.
Wabah kolera sudah biasa terjadi di Borno, pusat pemberontakan Islam yang membuat ribuan orang mengungsi ke kamp-kamp, membebani fasilitas sanitasi dan sumber air minum selama lebih dari satu dekade.
Baca: Profil CEO Twitter Parag Agrawal yang Bawa Pesangon Rp600 M Usai Dipecat Elon Musk
REUTERS